Senin, 29 November 2010

cerpen iseng... maap menyinggung Semarang (sedikit banyak)

KOTA BUKAN MIMPI

Rasanya saya sedang bermimpi sore-sore. Apa yang selama ini hanya ada di benak saya tiba-tiba menjelma menjadi nyata. Beberapa orang menatap dengan pandangan iba campur ‘ngeri’, melihat saya, seorang remaja kampung yang berjongkok sambil ternganga di trotoar menatap bangunan tinggi besar bertuliskan NOVOTEL. Padahal bangunan paling besar di kampung saya adalah kantor kelurahan yang tidak bertingkat, tapi gedung yang satu ini tidak bisa saya hitung ada berapa tingkat.

‘Mimpi saya baru saja terwujud kawan’, mimpi menginjakkan kaki di kota besar. Sejak kecil saya selalu mengimajinasikan sendiri gambaran sebuah kota besar. Pasti rumah-rumahnya besar, jalan-jalannya besar, banyak mobilnya dan ada kemungkinan bisa bertemu selebritis di jalan! Tapi ternyata pengetahuan saya masih sangat dangkal.

Saya baru saja menyusun puzzle mimpi dan mencocokkannya dengan pemandangan yang kini saya lihat, ketika tiba-tiba lamunan saya dibuyarkan oleh semburan karbon monoksida tepat di depan muka, ada sebuah mobil menyemburkan gas buangnya tanpa sopan-santun. Warna-warni imajinasi yang sedang saya lukis pelan-pelan tertutup kelam, hitam pekat.

Selasa,

Setelah mengantar seorang teman di daerah Gunung Pati, saya memutuskan untuk langsung pulang ke rumah kakak orang tua saya. Satu-satunya akses yang ‘terjangkau kantong saya adalah bus kota. Maka ketika ada sebuah bus yang penuh sesak menepi, saya nekad naik. Beruntung masih dapat tempat duduk.

Suasana kota Semarang hari ini tetap panas, silau, menyengat. Saya sudah berusaha bertahan dibawah teriknya matahari kota ini. Meski tidak sepanas matahari Mesir yang mampu mengakibatkan meningitis, ‘wah, sok tahu sekali saya, padahal belum pernah ke Mesir’, namun sengatan sinar UV di kota ini cukup untuk membuat kulit saya yang sewarna sawo matang menjadi lebih ‘matang’. Mungkin hanya sugesti, tetapi udara siang hari kota Semarang sudah cukup menguras keringat saya meski hanya duduk manis di dalam bus DAMRI yang melaju menapaki kontur jalan kota yang berupa tanjakan dan turunan.

Bus yang saya naiki ini penuh sesak oleh anak sekolah yang berisik, bapak-bapak kantoran dengan peluh dan asap rokoknya yang membabi-buta, juga ibu-ibu paruh baya dengan ‘seabreg’ barang belanjaan dari Pasar Jatingaleh. Tak lupa posisi aneh saya, terhimpit oleh mas-mas pengamen yang bersender pada tempat duduk saya sambil memainkan ukulele dan menabuh alat musik buatan, sepintas mirip gendang, memainkan lagu H.Rhoma Irama.

Ketika bus melewati tikungan tajam Gombel, saya hanya bisa berdecak kagum melihat pemandangan rumah-rumah penduduk yang terhampar bak kebun bunga di bawah sana, rapat, padat dan berwarna-warni. Konon di malam hari rumah-rumah itu hanya akan terlihat sebagai titik-titik cahaya lampu yang tampak seperti percikan bintang di langit kota. Saya tidak sabar menunggu datangnya senja di kota Semarang, berharap suhu disekitar saya tidak lagi mencapai 36 derajat Celcius.

Pandangan saya sesaat menerawang, masih adakah kota besar yang tidak panas membara dikarenakan akumulasi gas-gas beracun dari mobil mewah dan angkutan kota yang semakin lama bisa melebihi jumlah penduduknya? Masih adakah kota yang modern namun penduduknya tidak egois mengendarai BMW-nya masing-masing hanya untuk berangkat ke kantor? Masih adakah kota dengan gedung-gedung mewah bertingkat dan disekelilingnya orang-orang bersepeda dipinggir jalan yang dinaungi pohon Flamboyan?

Kamis,

Begitu pak dhe menawarkan untuk melihat-lihat ‘kota’ hari ini, saya langsung mencari T-shirt paling bagus yang dibawakan emak dalam traveling-bag saya, tak lupa kantong uang berisi sedikit titipan dari bapak, hasil menyisihkan uang gajinya yang tidak seberapa sebagai tukang kayu di kampung. Menaiki motor Grand-nya pak dhe, kami melaju diantara mobil-mobil, angkutan kota dan Trans Semarang. Kata beliau, Semarang memang bukan kota wisata, jadi jangan coba-coba membandingkan dengan kota tetangga, Solo atau Jogja. Jangan harap bisa dapat pemandangan tempat wisata dengan turis yang bertebaran, tukang jajanan, atau pedagang souvenir.

Mungkin saya bukan pelancong yang akan protes karena tidak bisa menemukan tempat wisata yang aksesnya mudah dijangkau di kota ini, tetapi rasanya agak bingung juga sebagai newcomers yang ingin sekedar jalan-jalan. Menurut pemaparan pak dhe, di kota Semarang ada beberapa tempat yang kerap menjadi tujuan wisata, yang paling terkenal ‘yha Lawang Sewu, Vihara Watu Gong, dan klenteng Sam Poo Kong. Ada juga sebenarnya wisata candi Gedong Songo di daerah Bandungan, namun jarak tempuhnya dari kota dan dari rumah pak dhe lumayan jauh sehingga tidak recommended untuk saya kunjungi.

Pak dhe yang melihat wajah ‘ingin jalan-jalan’ saya lantas mengajak saya melihat pantai di Semarang yang katanya tidak begitu jauh dan tanpa basa basi mengarahkan motornya ke sisi lain kota. Begitu memasuki kompleks Pantai Marina, disekitarnya adalah kawasan hunian elit, ‘yang katanya merupakan salah satu pantai favorit di Semarang’. Saya sempat merasa terhibur, paling tidak deburan ombak dan pasir pantai bisa menghapus rasa rindu saya dengan suasana damai dan tenteram di kampung. Bahkan saya sempat membayangkan kalau-kalau Marina itu mirip Ancol!

Sedihnya, selepas membayar Rp.3.000,00 di loket, saya terhenyak menatap batu-batu dan dinding semen yang membatasi daerah yang disebut-sebut ‘pantai’ itu. Tidak ada pasir, tidak ada karang, tidak ada ombak, lagi-lagi hanya cuaca panas terik berdebu menyambut saya dan pak dhe. Meski keadaan disini bisa saya katakan ‘seadanya’, namun ternyata tidak sedikit pengunjung yang rela berpanas-panas ria demi menikmati sedikit semilir angin laut Jawa, sekedar bermain air kotor di pinggiran, serta wahana kapal motor yang bisa disewa untuk berkeliling. Sayangnya saya tidak tertarik sama sekali, ‘kalau cuma perahu begini mah’ di kampung juga banyak’. Saya hanya bergumam dalam hati, tidak enak pada yang empunya kapal, apalagi pada orang-orang yang rela berdesak-desakan. Entah mereka belum pernah naik kapal atau bagaimana, saya kurang paham.

Apakah tidak ada lagi sarana hiburan dan liburan yang murah dan mudah dijumpai di ibu kota provinsi ini? Saya jadi kasihan pada orang-orang yang butuh rekreasi, apa semua harus pergi ke Jogya atau Bali hanya untuk menikmati deburan ombak? Mungkin nanti akan saya tanyakan pada pak dhe dirumah.

Minggu,

Kalau di kampung saya, ada kebiasaan warga untuk ‘ngaso’ di alun-alun desa tiap sore. Di kota ini, saya terkesima saat budhe mengajak saya minggu pagi ke kawasan Simpang Lima. Pukul 5.00 pagi selepas shalat shubuh budhe dan adik sepupu saya sudah selesai dandan dengan riasan ala ‘ibu-ibu mau ke pasar’. Saya pikir saya bakal diajak ke pasar, belanja sayur-mayur, angkut-angkut beras, gotong-gotong ‘telo’, seperti yang selalu dilakukan emak di kampung. Ternyata saya diajak ke pusat jual beli yang selalu meramaikan kawasan Simpang Lima di Minggu pagi. Orang Semarang menyebutnya ‘awul-awul’, tempat dimana berbagai barang dijual dengan harga bervariasi. Mulai dari standar Mall, harga pasar, grosiran, sampai ‘banting harga’!

Jalan raya sekitar ‘awul-awul’ pun disulap menjadi pasar yang lebih ramai daripada kenduri di kampung saya. Penjaja makanan dan jajanan khas Semarang bertebaran, pedagang mainan, parfum, buku, pernak-pernak dan pakaian menggelar dagangannya. Yang membuat saya ‘ngiler’ disini adalah beragam pakaian baru dan bekas yang dijual dengan harga sangat ‘miring’. Tanpa pikir panjang, dengan berlagak kaya saya memborong selusin pakaian anak seharga Rp. 2.000,00 per-item. Bukan untuk dijual lagi, tapi untuk adik-adik sepupu di kampung. Pasti kesannya nanti keren sekali ketika saya membawa oleh-oleh ‘baju dari kota’.

Tetapi saya heran ketika melihat Icha, adik sepupu saya, tidak membeli apa-apa. “Mau belanja di Mall saja”, begitu katanya. Saya semakin heran karena saya tahunya kalau barang-barang di Mall itu mahal sekali. Kata budhe ada barang diskon juga, tapi saya yakin 1 baju diskon di Mall harganya sama dengan selusin pakaian yang saya beli di ‘awul-awul’. Di kawasan Simpang Lima ini memang terdapat pusat perbelanjaan besar dan modern, yaitu Mall Ciputra, yang ternyata ‘nyambung’ dengan hotel Ciputra, ada pula Matahari Departement Store serta beberapa tempat lain, yang pastinya menjual barang dengan harga yang tidak sesuai kantong saya.

“Icha, memangnya punya uang buat belanja di Mall?” saya bertanya pada putri budhe itu. Dan jawabannya ternyata, “Ya kalau gak punya uang, ke Mall buat nongkrong aja Mas…Buat gaul gitu…”. Ternyata anak-anak budhe dan pak dhe termasuk anak gaul kota Semarang. “Nanti sore Icha mau jalan sama temen-temen lho Mas, mau ke PARAGON… Mas ikut saja…” adik sepupu saya menawarkan, tapi saya menatap baju-baju ‘dua ribuan’ di dalam kantong plastik dan menggeleng saja. ‘PARAGON itu bukannya nama tower gedung ya?’ otak kampung saya malah menyambungkan nama Mall dengan PENTAGON yang letaknya jelas-jelas bukan di Semarang!

Saya menatap hotel dan Mall-mall itu dengan tatapan menerawang. Di dalamnya pasti seperti lautan manusia yang gaya hidupnya sangat berbeda dengan saya. Tua, muda, laki-laki, perempuan, anak SMA, mahasiswa, dari yang modis sampai yang ‘berkostum’ seadanya. Mall di kota besar saat ini sepertinya sudah menjadi kebutuhan hidup. Siapa bilang orang datang ke Mall pasti untuk belanja sesuatu? Mall menjadi sarana rekreasi yang lama-lama merambah ke semua kalangan. Mau mencari distro dengan harga ‘selangit’ atau memilih barang diskon di basement , semua bisa diatur.

Saya menghela napas memikirkan seandainya di kampung saya juga ada Mall. Bisa-bisa emak panik kalau setiap pulang sekolah anak-anaknya sudah ‘nongkrong’ di Mall, pergi ke Cinema 21, makan di Mc.Donalds, atau hanya untuk ‘gaul’ bersama teman-temannya. Sudahlah, cukup di kota besar saja ada tempat-tempat semacam ini. ‘Orang kampung macam saya sudah merasa cukup puas dengan pasar tradisional kok’, lagipula saya yakin, emak pasti kalang-kabut kalau disuruh naik escalator atau lift.

Jumat,

Selepas menemani pak dhe shalat Jumat di Masjid Agung Jawa Tengah, saya sekali lagi diajak berkeliling kota Semarang. Kali ini pak dhe membawa Grand-nya ke kawasan Kota Lama. ‘Mau menjenguk teman sekalian ajak kamu lihat TAWANG’ begitu katanya.

Maka ketika melihat sebuah jalan yang tidak beraspal tetapi tersusun rapi oleh balok-balok paving, saya langsung berseri-seri. Pantas saja daerah ini disebut kota lama. Bangunan-bangunan kuno yang membuat saya teringat background foto-foto pre-wedding berdiri tegap di sepanjang jalan. Lorong-lorong sempit diapit tembok beton bangunan ala ‘kumpeni’ de Oranje terlihat sangat orisinil dan bernilai sejarah.

Pak dhe mengajak saya melihat sebuah tempat yang unik lagi disini. Gereja Blenduk, sebuah gereja yang arsitekturnya sangat unik. Kubahnya yang ‘mblenduk’ justru terlihat seperti masjid, meski demikian masih jelas terlihat simbol umat kristiani disana. Benar-benar bangunan semikuno yang bagus sekali. Pantas saja disana ada beberapa anak muda sebaya saya sedang berpose centil diiringi jepretan dan blitz dari camera digital.

Namun saying lagi-lagi saya harus memberikan nilai minus atas segala keunikan dan nilai sejarah yang ada di tempat ini ketika kaki saya tiba-tiba harus ber’banjir’ ria. Benar sekali, kawasan kota lama dan Stasiun Tawang adalah ‘langganan’ terkena banjir rob. Kontur kota yang naik turun dan letaknya yang berdekatan dengan laut menjadikan Semarang sering tergenang luapan air dari laut. Sedikit saja hujan turun dengan intesitas berlebih, disana-sini akan segera menggenang air, alias banjir.

Meski demikian, kata pak dhe banjir ini cepat datang, juga cepat surut. Di kawasan Simpang Lima saja (tempat saya membeli baju dua ribuan kemarin), sudah dirancang suatu system drainase di bawah tanah demi menanggulangi banjir ini. Meski hujan deras mengguyur dan menyebabkan air semata kaki hingga lutut menggenangi jalan, dalam waktu 15 menit setelah hujan reda air ini akan surut. Sayangnya banjir di sekitar Tawang dan kota lama tidak bisa surut secepat itu.

Saya langsung melayangkan pikiran ke kampung saya. Meski hujan sederas apapun, tidak pernah sampai terjadi banjir, paling-paling jalanan pasar saja yang jadi becek minta ampun. Mungkin karena masih banyak daerah serapan air dan pohon-pohon serta hutan menghijau di sekitar kampung saya. Beda sekali dengan kota besar ini. Rasanya aneh ketika kemarin melewati Ungaran, ibukota Kabupaten yang notabene terletak di bagian ‘atas’ Semarang, jalanannya juga banjir ketika hujan. Apa mungkin selokan-selokan dan daerah aliran airnya mampet semua oleh sampah? Apa harus saya, bocah kampung pendatang ini juga yang mencari tahu problematika kota besar ini?

Maka saya tidak heran lagi kalau disuruh membandingkan dengan berita di TV kalau ‘ibukota negara’ juga sering banjir.

Sabtu,

Semarang, xx-xx-2010

Assalamua’laikum,

Emak, Bapak, Adik-adik, saya disini sehat-sehat saja. InsyaAllah ketika nanti saya sudah mulai kerja ikut pak dhe, saya bisa mengumpulkan uang untuk pulang kampung. Mungkin kalian berfikir saya enak bisa ke kota besar, tapi percayalah, kota ini tidak sebagus apa yang kita miliki di kampung.

Saya rindu dengan suasana tenang yang sejuk di pagi hari, tanpa asap kendaraan bermotor dan suara bising kerumunan manusia dengan panas matahari yang membuat saya tidak berhenti berkeringat. Saya juga rindu masakan emak yang enak dan murah tentunya, disini harga makanan mahal sekali.

Untuk Adik-adik, saran saya, sekolah yang tinggi, jangan sampai terputus di tengah jalan seperti saya. Dan kalau sudah sekolah tinggi, carilah kota besar yang nyaman, yang teratur kehidupannya, yang aman situasinya, dan ramah penduduknya.

Mungkin apa yang saya ceritakan ini bukanlah kota impian seperti yang sering saya ceritakan pada Lilik, Udin dan Ahmad, adik-adikku. Tapi saya ingin kalian suatu hari nanti bias menemukan kota impian kalian sendiri.

Jaga kesehatan, doakan terus saya.

Wassalam,

Ananda dan Abang kalian,


Setya Pambudi

Saya melipat surat pertama saya untuk keluarga dikampung sambil tersenyum penuh harapan. Kota mimpi yang ada di depan mata saya sekarang adalah harapan saya untuk bias membahagiakan orang-orang yang saya cintai. Apakah kamu juga telah menemukan kota impian mu?

Sabtu, 27 November 2010

FROM WASTE to LOVE...


dibuat dalam rangka LOMBA ESAY TEKIM... ga tau menang ato gak... just share~


Siapa guru favoritmu?

Apabila diminta untuk memutar kembali memori dari zaman taman kanak-kanak maupun sekolah dasar, masih cukup jelas dalam ingatan saya, wajah-wajah guru yang senantiasa membimbing saya dengan sabar layaknya anak sendiri. Begitu pula dengan ‘film jadul’ kenangan masa SMP dan SMA. Bila ditanya siapa guru favorit saya dikala itu, maka saya akan dengan tegas menyebutkan, ‘Ibu A’ atau ‘Bapak B’.

Sebagai seorang siswa, terkadang kenangan yang membekas di dalam hati dan mampu menjadikan sosok gurunya sebagai teladan atau panutan tidak selalu kenangan yang menyenangkan. Tidak jarang guru-guru yang killer justru menjadi guru favorit seantero sekolah. Meski tidak jarang juga guru yang populer di mata muridnya adalah mereka yang memenuhi kriteria, untuk wanita: cantik, baik hati, tidak sombong, tidak pelit nilai, sabar, tidak suka marah-marah. Dan untuk laki-laki, biasanya yang masih (berjiwa) muda, ‘ganteng’, dan senang ‘nongkrong’ bersama murid-muridnya.

Lantas, bagaimana bila pertanyaannya diubah menjadi,‘Siapa dosen favoritmu?’. Mungkin saya harus merunut dari awal untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Apakah dosen sama dengan guru? Jawabannya ‘ya’ dan ‘tidak’. ‘Ya’, karena mereka sama-sama berprofesi sebagai pendidik, meski tidak jarang saat ini banyak pendidik yang salah menempatkan diri di posisi ‘pengajar’ yang kesannya hanya melaksanakan tugas menyampaikan materi. Dan ‘tidak’, karena pastinya mereka memiliki ‘lapangan kerja’ yang berbeda, guru di sekolah, dosen di universitas. Terlalu klise dan sederhana mungkin, karena yang sebenarnya perlu ditelusuri disini adalah, apakah kriteria dosen favorit sama dengan guru favorit?

Berdasarkan pengamatan saya selama ‘berguru’ dan menimba ilmu dengan dosen-dosen di kampus saya tercinta, Teknik Kimia, dosen yang menjadi favorit mahasiswa dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama, dosen-dosen muda berprestasi. Kelompok ini terdiri dari dosen-dosen yang terkenal aktif berkarya dan ‘mengkaryakan’ mahasiswanya serta mampu meraih banyak penghargaan meski masih terhitung belia dalam kancah persaingan Teknik Kimia.

Dosen-dosen ini memiliki karakter yang berbeda-beda dari segi penampilan maupun cara mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswanya. Ada dosen yang lebih senang ‘guyon’ dan berpenampilan santai seadanya. Ada pula dosen muda yang selalu tampil fresh dan modis di kampus. Persamaannya tentu saja dari segi kemampuan dan skill yang memiliki daya saing tinggi. Maka tidak jarang dosen-dosen muda dari jurusan saya meraih penghargaan tingkat nasional. Mahasiswa mana yang tidak bangga memiliki dosen seperti ini, yang lantas kemudian menjadikan mereka model dari dosen teladan serta favorit sekian banyak mahasiswa.

Kelompok kedua, adalah dosen-dosen ‘sepuh’ yang baik hati. Mengapa saya katakan disini dosen ‘sepuh’? Karena di jurusan saya masih cukup banyak dosen-dosen yang dulunya sempat turut ‘mendirikan’ Teknik Kimia, yang masih aktif mengajar di kampus meski seharusnya mereka sudah menikmati masa-masa vacation di hari tua. Bukan karena terpaksa, tetapi karena merasa bertanggung jawab dan tuntutan karir. Dosen-dosen senior ini biasanya baik hati, tidak bisa marah, tidak minta macam-macam, dan biasanya ‘murah’ nilai. Mahasiswa mana yang tidak bahagia luar biasa, bila setelah ‘hampir mati’ ketika ujian, masih bisa mendapatkan nilai ‘A’ secara ajaib di transkripnya? Meski ada juga dosen sepuh yang ‘keras’ dan teguh pendiriannya, jangan salah, dosen ini pun merupakan salah satu dosen ‘terfavorit sepanjang masa’.

Kelompok yang ketiga, terdiri atas dosen-dosen yang ‘dingin’. Kebanyakan dosen-dosen ini bukan termasuk dosen muda, ataupun dosen sepuh. Mereka justru tengah menapaki karir, meraih gelar professor, dan berkecimpung dalam organisasi setingkat fakultas, universitas, bahkan langsung terjun di masyarakat. Meski tergolong dingin atau terkesan cuek kepada mahasiswanya, dosen-dosen ini memiliki kepribadian yang patut dicontoh, semangat kerja yang tinggi dan ketegasan yang mampu membuat mahasiswa ‘hormat’ pada mereka.

Lantas, siapa dosen favorit saya? Apakah beliau seorang dosen muda yang sibuk berkarya? Dosen sepuh yang masih tetap mengabdi untuk bangsa? Atau dosen-dosen bergelar professor? Bukan.

Ketika saya melihat laki-laki ini, yang muncul di benak saya adalah sosok ‘bapak’. Melihatnya mengajar selama kuliah membuat saya menyadari pentingnya kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Mengikuti materi kuliahnya memberi saya banyak ‘ilham’ untuk belajar dan berkarya. Mendengarkan nasihatnya membuat saya semakin mengagumi sosoknya. Sosok sabar, lembut, dan cerdas seorang Agus Hadiyarto.

Dosen yang satu ini karyanya tidak se’booming’ dosen-dosen muda. Bukan pula dosen killer yang bila mengajar selalu membuat mahasiswanya gugup. Pembawaan beliau yang santai dan tenang bagi saya adalah ‘kesejukan’ selama mengikuti kuliahnya. Meski tidak banyak mengobrol dengan mahasiswa, tetapi kepeduliannya sangatlah tinggi. Apalagi dosen yang kerap mengajar materi yang berhubungan dengan lingkungan dan limbah ini juga menjadi dosen pembimbing di Laboratorium Dasar Teknik Kimia I, tempat saya menimba ilmu sebagai asisten. Tidak jarang beliau memberikan advice langsung tentang laboratorium, ini sangat membantu dan memberikan ‘semangat’ tersendiri bagi saya.

Hal yang paling membuat saya mengagumi dosen yang satu ini adalah ‘perhatiannya’ terhadap lingkungan. Sejak mengikuti materi kuliahnya, Ilmu Lingkungan dan Pengolahan Limbah, beliau menjadi sumber inspirasi saya dalam usaha ‘menyelamatkan’ lingkungan. Banyak hal kecil dari penuturan beliau yang mampu menyadarkan saya bahwa sebagai seorang chemical engineer kita tidak hanya bisa menghasilkan produk dan limbahnya, tetapi juga bisa menjaga lingkungan dari dampak buruk hasil ‘karya’ para engineer ini.

Sejak bertemu dan bertukar pikiran dengan beliau, saya merasakan banyak perubahan terjadi dalam diri saya. Meningkatnya kepekaan saya terhadap alam, kebencian saya setiap kali melihat sampah dimana-mana dan ketertarikan saya terhadap pencemaran yang terjadi di sekitar kita. Semua bersumber dari betapa seringnya saya merenungkan perkataan seorang Agus Hadiyarto. Masih jelas teringat, saat menjadi pembimbing saya untuk Program Kreativitas Mahasiswa, beliau mengatakan, ‘Kalau membuat proposal, covernya kalau bisa jangan pakai plastik mika ya…’. Dari kata-kata sepele itu tercermin kepedulian dan kecintaan beliau pada lingkungan.

Bagi saya, dosen favorit tidak harus orang ‘nomor 1’. Tidak harus berpendidikan S3. Tidak harus membimbing banyak PKM dan membuat mahasiswanya menjadi juara. Dosen favorit saya cukuplah seseorang yang memberikan pengaruh ‘kecil’ namun mampu merubah saya menjadi seorang yang ‘peka’ hati nuraninya.

Maka ketika suatu hari nanti ada yang bertanya, ‘Siapa dosen favoritmu?’, dengan rasa hormat dan cinta yang teramat dalam, saya akan menjawab, ‘Seseorang yang membuat saya tak lagi berpangku tangan melihat sampah dan limbah, tapi berpikir dengan berlandaskan hati nurani untuk berbuat sesuatu for the earth. Seseorang yang ketika dibayangkan mampu membuat saya tersenyum bangga pernah dibimbing olehnya. Dosen favorit saya, Agus Hadiyarto’.

Senin, 01 November 2010

(jangan!) berSEPEDA sampai JAbal MUBARAQ~TEMBALANG



...
"MENSANA IN KORPORESANO"

di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat... (okeh, anak SD pun tau...)

berpegang pada prinsip ingin hidup sehat, pingin langsing, pingin cantik, pingin mengurangi polusi udara, (intinya pingin nyobain penyewaan SEPEDA baru di Banjarsari~Tembalang>>>malah ngiklan...)

akhirnya saya dan Rlinda memutuskan untuk keluar kos pagi-pagi buta untuk nyoba 'main' (MAIN?) sepeda di tembalang...

dengan semangat '45 plus bekal secukupnya, setengah 6 pagi kami pun meluncur ke rental SEPEDA yang lagi 'in' di Tembalang.

-hanya dengan modal Rp3.000,00 per jamnya, kita bisa sepedaan sampek kaki pegel..
tersedia sepeda gunung biasa, juga sepeda tandem, plus properti-nya (kalo situ pengen safety bisa sewa helm gitu...)~yah... ngiklan lagi.


setelah memilih-milih sepeda ... (padahal yha sebenernya sepedanya sama semua, beda warna doang ama type~tapi satu Merk...)

and then~ dua 'wanita' ini pun mulai menyusun rute perjalanan …
- Jalan Banjarsari… terus ke Sirojudin… ‘ngiri’ trus ‘nganan’ masuk gang BASKORO… lewat belakang POLINES, lewat sebelahnya gedung D3 Teknik, turun ke bawah gedung FIB yang baru, naik lagi ke Widya Puraya, turun ke Rektorat, menuju ke Fak Kelautan, lewat MIPA, balik lagi ke depan WP (mandeg lalu foto2 geje~), lanjut ke Sudarto, dan yang paling ditunggu-tunggu…
At De momen of ‘meluncur bebas’ di turunan depan ICT-center…. ‘anginnya Cuyyyy…!!!’
Setelah berleha-leha plus melengkapi bekal dengan air mineral, susu kotak, dan nasi uduk seribuan+gorengan (ini mau sepeda an ato kemping sih???), perjalanan pun berlanjut ke destinasi yangs sesungguhnya…JABAL MUBARAQ.
(info: untuk anda yang belum tahu JABALMUBARAQ~ini adalah sebuah masjid yang didirikan di perumahan **** daerah Bukit ****** yang view nya bagus banget menghadap ke utara kota Semarang>>bener utara ga sih, soalnya keliatan banyak tempat, kantor PLN jatingaleh, jalan tol, bahkan kubah n TOWER nya MAJT? Dan yang jelas tempat ini sejuk banget, sepi dan nyaman buat refreshing… Untuk mencapai tempat ini, anda cukup melewati gang yang ada pas disebelah POM bensin, melewati Lapangan bola Sumurboto, trus ikuti rutenya sampai menara pemancar TELKOM……turuuuuunnnn… dan WHUALA….~sepertinya kurang jelas, yah maaf saja.)

>>>Destinasinya memang sangat menggiurkan dan cukup untuk memompa semangat (meski dua orang ini sudah tau resiko ‘horor’ yang harus ditempuh untuk sampai ke sana, jalannya NAIK TURUN!!!)

Well… harus disadari memang, bersepeda di daerah Tembalang berarti memacu kerja adrenalin dan jantung, gimana engga, kontur jalan yang kurang lebih seperti perbukitan cukup bikin emosi dan ‘ngos-ngosan’ gara-gara harus terus menerus ganti ‘gear’ sepeda………..
tanjakan~ganti…. Kalo turunan~ganti… tanjakan lagi~ganti…………… MULAI CAPEK.. apalagi sinar UV nya Semarang sudah mulai malesin, harinya cerah banget dan kendaraan yang hobinya buang KARBON MONOKSIDA sembarangan sudah mulai lalu lalang…

tapi ternyata…tak ada gading yang tak retak (maksudnya disini >>>gak ada jalan yang gak bisa ditaklukkan, ~kayaknya salah peribahasa)… akhirnya bisa juga loh sampai ke JABAL MUBARAQ , dengan catatan: beberapa kali menepi, minum dulu, duduk-duduk, dan sepeda dituntun (atau diseret?) setiap kali lewat tanjakan…

it so much WORTH lah dengan usaha yang sudah dilakoni, maka setelah makan dan minum macem-macem (sesuai bekal yang dibawa), diselingi rumpi-rumpi ceriwis, obrolan sehat wanita~ mengingat sepeda ini nyewa (-ingat per jamnya tiga ribu lho!!!) dan waktu sudah menunjukkan pukul 8.00, maka kami pun bertekad untuk menaklukkan medan ‘naik-turun’ itu dan langsung balik kos untuk istirahat…

dengan PEDE-nya kita mengambil rute yang berbeda, dan setelah naik turun geje, terdengar bunyi ‘KRAK’ yang misterius dan horror banget, Rlinda menengok ke bawah dan menjerit, ‘MITHA!!! Rantainya lepas!!!’ >>>well, guys…. Rantai sepeda saya copot, putus, rusak…. -,-‘ …. Cobaan apa lagi sih inii????!!!

~untungnya, atau ‘mukjizatnya’, rantai sepeda saya troubled pas di depan POS SATPAM Perumahan Royal ******, dan satpam-satpamnya luar biasa baik……….. (langsung bantu baikin tu sepeda,cuma sayangnya proses perbaikan ini makan waktu kurang lebih SATU JAM an !!!!!)…. Hanya ‘alhamdulillah’ dan ‘MAKAsih pakkk’ yang bisa saya ucapkan……………………………………….

Akhirnya dengan terseok-seok geje~capek banget nuntun sepeda di tanjakan, naik turun, balik ke rute awal…. >>>sirojudin, banjarsari, n then…………………. Sampai ke rental sepeda…

Begitu melihat ‘dua wanita’ penyewa sepedanya tiba dengan selamat dan napas putus-putus, si Mas yang punya rentalan melirik jam dan berkata… ‘WAH, KEREN MBAK!!! LAMA BANGET!! 4 JAM!!!’

>>>saya dan Rlinda (misuh): “INI GARA-gara RANTAINYA PUTUS MASSS!!!! GHHRRAAAOOO!”
>>>Mas nya: “owh, iya, itu yang 1 lupa tadi pagi belom saya servis …. Hheehheeheheh” (innocent-)
>>>saya : (dalem hati)… D*MN, ANJR*T…. >>>>sambil mengeluarkan uang @Rp12.000,00…………

Maka……………………… dapat disimpulkan:
1) Bersepeda itu sehat
2) Di Tembalang ada tempat penyewaan sepeda
3) Naik sepeda di Tembalang seru
4) Jangan lupa bawa bekal, minum paling ngga…
5) Pastikan sepeda yang anda sewa sudah di ‘stel’ dengan baik sama mas-masnya
6) Kalo ada trouble dengan sepeda mu, cari bengkel terdekat, atau POS SATPAM!!
7) TAPI GAK USAH NAIK SEPEDA SAMPAI KE JABAL MUBARAQ DAN SEKITARNYA!!!! CAPEK!!! ~trust me… -____-‘’
8) Buat yang mau sewa sepeda, cek nama di buku penyewa deh, ada 2 orang yang nyewa paling lama (5.30-9.30) NGERI!!!! ><