Kamis, 27 Juni 2013

Move on~

Masih ingat pembicaraan tentang migrasi nya ikan salmon si abang Raditya Dika?


Setiap orang pasti punya suatu kondisi dimana dia diharuskan 'pindah'. Entah itu pindah dari zona nyaman ke yang kurang nyaman, atau syukur kalo misal sebaliknya.


Saya sendiri masih menelaah mengenai peristiwa migrasi saya yang akhir-akhir ini berlangsung dengan sangat dinamis.

Orang awam bilang kita harus pindah.
Anak sosial bilangnya terjadi migrasi.
Tapi menurut saya kita lebih mudah memahami kata MOVE ON.

Hanya dalam 6 bulan saja saya sudah merasakan 3 kali 'move on'.
Disini tolong jangan asumsikan bahwa move on hanya mengacu untuk hubungan asmara (walaupun itu salah satunya juga sih).

Well,

Saya move on dari domisili, move on dari pekerjaan, dan move on dari kisah cinta yang udah lumayan lama berjalan.

Dari beberapa kejadian di atas, ada move on yang memang sudah terencana dan ada juga yang insidental.

Katakanlah, sejak lulus Juli 2012 lalu, saya sudah pindah sana sini. Semarang-Magelang-Sampit-Semarang lagi-Jakarta-Bogor, lalu Sampit lagi. Tidak ada yang namanya kebetulan, karena ini semua adalah rencana dari Yang di Atas.

Move on saya dari segi domisili ini tentunya juga dipengaruhi oleh pekerjaan.

Dari seorang fresh graduate, jobseeker, new employee, lalu berakhir dengan kata 'resign'. Siapa yang sangka saya tiba-tiba sudah ada di kampung halaman lagi setelah susah payah mendapat pekerjaan awal tahun ini dan hanya bertahan 6 bulan terakhir, out of expectation.


Berpindah-pindahnya tempat tinggal plus gawean ini 'sayangnya' juga disusul oleh berpindahnya 'hati' saya.
Dari seseorang yang tadinya sudah bareng sejak kuliah, sampai sekarang kami menempuh jalan masing-masing, kami pun (saya tepatnya) memutuskan untuk berpisah. Pisah secara fisik dan non-fisik, sebut saja 'break up'.

Awalnya karena saya selalu berpikir bahwa hubungan kami tidak pernah punya timing yang baik, dan untuk bisa saling support, terlalu sedikit effort yang kami lakukan.
Saya tidak pernah ingin menyakiti dia, tapi saya justru akan menyakiti dia dengan bertahan lebih lama.
Maka, saya move on, dari hubungan yang tidak bisa lagi saya katakan 'cinta' (masalah move on nya ke hati siapa, dibahas kapan-kapan aja yah kalo udah 'jadi' :D)..



Kata orang move on itu gak semudah membalik telapak tangan, definitely right, tapi bukan tidak mungkin.
Saya sendiri merasa bahwa saya seringkali justru terlalu mudah move on, bukannya apa, saya cuma nggak mau terlalu lama berkutat di satu masalah, karena saya orangnya moody banget.

Yang pasti, meskipun saya sudah move on, dari apapun atau siapapun itu, saya akan selalu menyimpan memorinya.

Saya orangnya sangat suka dokumentasi, maka terkadang hal-hal yang sudah saya tinggalkan di belakang masih menyisakan banyak record yang bisa dibuka kembali.

Bukan untuk menangisinya,
bukan untuk menyesalinya,
tapi untuk tersenyum mengingatnya,
dan kemudian bersyukur karena sudah diberikan kesempatan untuk berpindah,
move on,

untuk menjalani hidup yang lebih baik...
meraih mimpi-mimpi yang tertunda...
dan bertemu seseorang, lagi...


-Thank you for the memories-



NOTE:
*Terimakasih untuk kota-kota yang pernah saya tinggali (sebagus atau seancur apapun itu)
**Terimakasih untuk job terakhir yang tidak pernah saya sesali (seburuk apapun penilaian orang, thx for the chance)
***Terimaksih untuk orang-orang yang pernah atau masih mencintai saya, tapi tidak bisa menjalani kisah yang sama lagi bersama, semoga kalian selalu bahagia...






Rabu, 12 Juni 2013

Bukan 'Cinta Dalam Kardus'

"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013." 

Cintaku Gak Ada di Kardus

Buat aku, mengungkit kembali kenangan yang telah lalu itu semacam brunch, snack sebelum makan siang. Bukan menu wajib, tapi bila dilakukan bisa memberikan sensasi rasa yang berbeda, nice.

Sama rasanya saat kita sudah bisa move on, apa salahnya sesekali mundur sedikit? 

Sebenarnya kenapa sih kita harus move on? Apa kenangan dimasa lalu itu gak bagus? Memalukan? Bikin nyesek? Makanya seringkali kenangan itu harus disimpan rapat-rapat, disembunyikan di tempat yang aman. Jauh dari tangan-tangan dan mulut-mulut jahil. Karena bagi sebagian orang, kenangan yang bikin move on itu harus dikubur dalam-dalam supaya tidak menimbulkan masalah ketika akan melanjutkan hidup, ya melanjutkan hidup.

Kamu, bukanlah sosok yang pernah sebelumnya mampir dalam mimpi, atau tertuang dalam imajinasi konyol tentang romansa kecepatan tinggi yang mungkin terjadi dalam hidupku. Pun, ketika kamu hadir, aku gak melihat atau merasakan pertanda bahwa kamu mungkin menjadi suatu kenangan yang harus kusimpan baik-baik. 

Tapi nyatanya, secara tidak sadar aku sudah mencetak potongan puzzle yang kadangkala membuatku senyum-senyum sendiri atau kadang senyum-senyum bareng temen (jadi pikirannya fly entah kemana gitu).
Puzzle itu kalau disusun dengan benar, pelan-pelan akan menjadi satu bagian kenangan. Kenangan tentang seseorang yang pada akhirnya memilih, dipilih, atau tidak punya pilihan lagi selain pergi dari sisiku. Kenangan tentang ‘kamu’.

Mungkin orang lain akan butuh sebuah kardus untuk menyimpan kenangan yang manis, pahit, atau asem (emangnya ketek). Dan mungkin bagi mereka waktu satu setengah bulan cukup untuk memenuhi kardus dengan barang ‘berharga’ yang jadi sumber kenangan itu, minimal kardus sepatu, atau kardus mie instan (kalau barangnya banyak banget, mungkin butuh kardus rokok ukuran standar).

Tapi ketika aku coba ambil sebuah kardus (ceritanya pengen sok-sok an nyimpen barang-barang yang mungkin bisa menggali kembali memori tentang kamu), aku bingung. Bingung tingkat dewa, karena kenangan selama satu setengah bulan yang aku miliki tentang kamu tidak bisa kusimpan dalam kardus.

Kamu bukanlah seseorang yang meninggalkan pernak-pernik cantik dan unyu untuk dikenang (pada sebagian besar kasus, pernak-pernik ini kudu dicabik-cabik, dibakar, atau dikasih ke tukang loak, biar gak bikin galau dalam usaha move on). 

Tapi tawa kamu sewaktu kita main BINGO, senyuman kamu sewaktu kita contek-contekan dikelas, tampang serius disaat kamu cerita tentang sosok seorang ibu, dan suara kamu waktu kita karaokean (yang jujur bikin aku melting pengen jerit-jerit macam anak SMA nonton band indie di pensi sekolah, terutama waktu kita nyanyi bareng) adalah kenangan sederhana bagiku ketika kamu benar-benar harus pergi. 

Boy I hear you in my dream, I feel you whisper across the sea. I keep you with me, in my heart. You make it easier when life gets hard…
Lucky I’m in love with my bestfriend…

Jadi ketika kusadari bahwa aku harus move on, dan mengemasi semua kenangan itu ke dalam sebuah kardus, pada akhirnya yang kudapati hanyalah ‘kardus kosong’. 

Aku gak punya apa-apa. Dan kita memang bukan siapa-siapa. Tapi setidaknya aku punya kenangan.

Kenangan tentang kamu dan perasaanku. Perasaan yang mungkin kamu gak pernah tahu. Perasaan yang gak pernah mungkin aku simpan dalam kardus. 

Menurutku itu hanya ‘cinta’. Bukan ‘cinta dalam kardus’.