Bukannya kurang kerjaan, tapi kalau
ada waktu untuk meresapi falsafahnya wanita Indonesia tempo dulu (dan kini)
yang dikenal dengan sebutan “Ibu (kita) Kartini”, cobalah duduk memandang
langit dari sejak awal mendung, sampai turun titik air pertama, yang kemudian
disusul guyuran maupun tumpahan air yang kadang gak bisa diprediksikan
manusia, hingga limpahan air itu mulai mereda dan berhenti sama sekali, hanya
menyisakan butir-butir air di dedaunan dan rumput-rumputan (sampai disini
dilarang GALAU yah ).
Apa yang kalian perhatikan? Bukan.
Bukan becekan yang tertinggal. Bukan pula sisa-sisa kelembaban jemuran yang
lupa diangkat. Tapi coba perhatikan langitnya.
Dia yang awalnya kelabu-disertai
bunyi khas nya -guntur yang membuat sebagian orang bergidik ngeri sementara
sebagian lainnya sibuk menyebut nama Tuhan (mungkin lagi usaha tobat)- perlahan
semakin cerah, kemudian menjadi terang, dan kembali kepada kedudukan awalnya.
Langit yang bersih tak berawan,
seperti kosong. Saat itulah dia mulai dari awal lagi.
Awal proses terbentuknya hujan (bagan
siklusnya saya baca sejak SD). Yang intinya adalah : pokoknya air dari
mana-mana, mau dari selokan, sungai, waduk, genangan, comberan, semua bermuara
di lautan yang kemudian teruapkan dengan sendirinya membentuk titik-titik awan
di langit. Nanti kalau dalam gumpalan awan itu intensitas titik air nya sudah gak
bisa ditampung, dia bakal jatuh. Balik lagi ke asalnya, bumi, tanah. Sama kayak
manusia, yang bakal kembali ke bumi, tanah.
Kalau bagi saya, proses ini saya
sebut ‘Habis Gelap terbitlah Terang’ (maap bunda Kartini, saya pinjem judul
bukunya).
Bagi saya, hujan mengajarkan bahwa
proses bersyukur itu punya siklus.
Umumnya kita mengucap ‘alhamdulillah’
ketika sudah berada pada fase ‘terang’. Sebut saja, kamu mau pergi keluar
rumah, lalu hari hujan. Kamu biasanya akan menggerutu, ngomel, gak lupa update status telat berangkat. Baru
ketika hujan mulai reda, kamu mengucap syukur (itupun kalau ingat) lalu
bergegas mengambil langkah ketujuan semula.
Seharusnya, rasa syukur itu hadir
ketika pertama kali menyaksikan mendung itu menghiasi langit yang seperti mau
runtuh. Kenapa? Karena tanpa mendung, gak akan turun hujan, dan gak akan ada pelangi
di langit yang sudah terang. See,
mana bisa kita tiba-tiba bersyukur atas pelanginya saja? Sementara proses
terbentuknya yang sedemikian runut itu lebih sering kita protes kepada Sang
Pencipta.
Sama ketika kita diajari untuk
menyikapi musibah dengan rasa syukur. Kenapa? Karena setelah musibah itu
selesai nantinya pasti akan ada hikmahnya. Gak lucu kan kalau dipikir-pikir
tiba-tiba Cuma muncul hikmah tanpa ada siklus masalahnya (walaupun hikmah bukan
melulu hasil akhir dari musibah).
Yang pasti, mungkin sejak saat ini
saya akan selalu tersadar setiap melihat langit. Apakah saya sudah bersyukur
atas ‘mendung’ yang datang dalam kehidupan saya? Ataukah saya Cuma peduli
ketika langit sudah terang dan ada pelanginya?
Semoga setiap orang juga akan
sadar, bahwa sebelum ada terang, harus ada gelap. Maka syukurilah gelap itu,
dan seharusnya kita semakin bersyukur, karena kalau siklusnya masih berjalan
dengan benar, habis gelap (pasti) terbitlah
terang.
~Selamat Hari Kartini~ J