Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Akhirnya saya nulis lagi gais... (terharu.com)
Semoga bermanfaat ya...
Enjoy :)
Satu
Hati (Bukan Kisah Cinta)
Siang itu terik seperti biasanya.
Orang Indonesia bilang ini musim kemarau, tapi turis asing punya sebutan keren “summer” atau musim panas. Aku berteduh
di bawah atap warung kopi sederhana, langsung menghadap jalan raya. Kalau
kuperhatikan, jalanan ini tak pernah lengang. Kendaraan yang berlalu lalang
terlalu variatif. Sebutkan saja semua moda transportasi darat; mobil, sepeda
motor, angkot, bus kota, bus AKAP, truk, sepeda, bahkan sesekali ada bajaj atau
delman nyasar yang lewat. Mungkin hal ini dikarenakan warung kopi ini tepat berada
di pinggir ruas jalan pinggiran ibukota yang ramai.
Iseng saja kuperhatikan
pengunjung warung kopi yang datang silih berganti. Ada yang menghabiskan
sepanjang siang hingga sore hari hanya karena tak mau menghajar panasnya cuaca,
ada yang sekedar memesan kopi untuk sekali tenggak lantas melanjutkan
perjalanan, ada yang memang niat nongkrong sambil ngopi murah, tapi menurutku
yang paling parah adalah mereka yang mampir tapi malah tanya WC dimana.
Kadang kalau punya waktu lebih
lama, bisa kusimak pembicaraan para pengendara yang melepas lelah di warung
kopi ini. Topik pembicaraannya tak jauh-jauh dari menghujat Presiden, membahas
harga bahan bakar yang semakin labil, atau curhat masalah gaji yang tak kunjung
ada kenaikan. Tapi yang paling menarik dan sering kucuri dengar adalah
percakapan para pengendara motor yang cenderung lebih seru. Terkadang
penampilan mereka juga tak kalah seru.
Kemarin aku ingat ada seorang
pengendara motor yang gayanya maksimal, ‘RIDER’ banget! Bagaimana tidak, jaket
kulit hitamnya melekat sempurna ditubuh laki-laki yang cungkring itu, celana
panjangnya tak kalah ketat dengan sejenis rantai yang melingkar di pinggangnya
(kemungkinan itu rantai dompet, lah ini kan style
jadul yak?), penampilan sempurna itu ditunjang dengan boots yang kelihatan KW tapi kinclong serta sarung tangan kulit
yang ada duri-durinya. Orang semacam ini akan muncul dengan helm balap hitam
yang mahal, biar kelihatan imbang dengan motor sport-nya yang tak mungkin dibeli cash.
Begitu memarkir motornya di
tempat aman, ia akan melangkah parlente ke warung kopi dan memesan kopi yang
paling murah dengan gaya segaul mungkin.
“Pesen kopi item satu bro! Nggak
pake gula, eh kalo gratis ya boleh lah!”
Meski jelas uangnya pas-pasan, ia
akan tetap memamerkan sepeda motor kerennya. Motor 1000cc yang setiap dipacu
akan membuat pengendaranya jadi merasa seperti Om Rossi. Aku tak ragu para
pemilik motor semacam ini senang ikut balapan liar. Tapi melihat perlengkapan
bermotornya dan kostum sempurnanya, aku sempat mengira dia pengendara yang
cukup peduli pada safety.
Bayanganku langsung buyar dan aku
kecewa ketika sempat mendengarnya bercerita dengan bangga bahwa ia kerap memacu
sepeda motornya di atas kecepatan rata-rata yang diperbolehkan di jalan raya
dalam kota.
“Yang penting kan gue safety bro… Pake jaket, pelindung
tangan, sepatu, helm…” pengendara ini komat-kamit pamer pada lelaki muda
lainnya yang nampaknya sok paham.
‘Tuh kan bener dia pasti hobi
balapan juga! Safety dari Hongkong
Mas?! Caramu nyetir motor itu lho yang nggak safe sama sekali!’ Ingin rasanya aku mengomel di hadapannya tapi
apa daya aku hanya bisa mencibir dalam hati.
Di lain kesempatan, aku ingat
betul sedang bergeming di warung kopi yang sama, tapi menghadap persimpangan
jalan dimana ada lampu lalu lintas yang acapkali mati sehingga menimbulkan
kericuhan. Maka dari itu, beberapa kali ada polisi lalu lintas yang ditugaskan
mengatur traffic di sana. Aku sih, senang-senang
saja melihat situasi semacam ini. Kalian tahu kenapa? Karena aku sering
menonton adegan drama antara polisi dan pengendara yang kena tilang.
Yap. Keberadaan polisi lalu
lintas seringkali menjadi momok bagi para pengendara. Dibandingkan pengendara
mobil atau supir angkutan umum, para pengendara sepeda motor lebih sering
tertangkap basah sedang melanggar peraturan. Entah itu yang sudah tahu tapi
sengaja melanggar, atau mereka yang memang bawa motornya ‘ngawur’. Aku saja tahu
bahwa rambu lalu-lintas itu bukan sekedar pajangan. Entah kenapa masih ada saja
yang nekad melanggarnya.
Lamat-lamat kudengar bunyi peluit
dan keributan kecil di lampu merah. Ada pengendara motor yang sedang apes,
tertangkap oleh polisi lalu lintas yang sedang piket hari itu, seorang polwan
berperawakan tinggi besar sementara yang tertangkap adalah bocah-bocah
berseragam SMP yang sedang boncengan bertiga. Entah orang-orang terinspirasi
lagu dangdut atau apa, yang jelas aku tahu apa sebutan bagi pelanggar lalu
lintas semacam ini, ‘cabe-cabean’.
Percakapan mereka lalu bisa kusimak setelah
ketiga pelanggar cilik itu diseret ke pos polisi yang tak jauh letaknya dari
warung kopi.
“Adek tahu salahnya apa?!” Aku
mendengar suara ibu polwan yang menggelegar itu dan sedikit gentar, padahal
bukan aku yang sedang diinterogasi. Bisa kulihat pula tiga anak SMP yang
menciut di samping sepeda motornya.
“He…helm…helmnya kurang satu Bu…”
Si anak yang paling tinggi berusaha memberikan klarifikasi tapi gagal.
“YA JELAS HELM NYA KURANG SATU!
KAN KALIAN BONCENG TIGA!” si ibu polwan muntab, salah satu anak mulai menangis,
aku curiga yang dua lagi hampir kencing di celana karena gugup.
“Tak ada surat-surat juga! Mana
STNK motor kau? Belum lagi kalian masih kecil-kecil pulak! Mana mungkin punya
SIM! Dan kenapa pulak orangtuanya kasih saja motor, kan banyak kendaraan umum!
Bah!”
Ada sekitar setengah jam lebih si
ibu polwan mendaftar poin-poin pelanggaran yang dilakukan anak-anak itu. Hingga
akhirnya adegan itu berakhir dengan tiga anak sekolahan itu pulang naik angkot
karena motornya ditahan, belum lagi dapat bonus surat tilang. Wajah mereka
pucat pasi, bukan karena habis disemprot habis-habisan oleh ibu polwan, tapi
karena membayangkan omelan mamak nya di rumah. Kasihan sih. Tapi bagiku, mereka
pantas mendapatkan peringatan semacam ini. Berhubung memang salah dan sudah
membahayakan jiwanya sendiri juga orang lain, mungkin saja kan waktu mereka
naik sepeda motor bertiga ada salah satu yang jatuh, atau parah-parahnya motor
oleng dan mencelakakan pengendara lain. ‘Ah, anak jaman sekarang memang labil!’
Kadang aku juga bertanya-tanya,
orangtua yang memberikan izin anak-anaknya mengendarai motor itu apa sudah
memikirkan resikonya matang-matang. Jangankan ujian SIM dan lulus tes membaca
tanda lalu lintas, sebagian besar anak-anak itu badannya kalah besar dengan
motor yang dikendarainya. Sudah begitu tetap saja para remaja tanggung ini hobi
memacu motornya kencang-kencang, ikut konvoi, dan terkadang sering gaya tak mau
pakai helm, alasannya cuma mau ke warung yang dekat.
‘Lah, kalau dekat ya jalan kaki saja lah Dek!’
Aku mengomel dalam hati lagi.
*********
Dari hasil pengamatanku, kasus
pelanggaran lalu lintas yang paling sering dijumpai tapi lebih banyak luput
dari tindakan para polisi adalah menerobos lampu merah. Hampir seluruh kalangan
pengguna sepeda motor pernah sengaja ataupun tidak sengaja karena ‘kepepet’
menerobos lampu merah.
Bila harus kujelaskan, kronologisnya
sederhana saja.
1) Lampu lalu lintas yang sudah
berubah hijau hanya punya waktu singkat, kadang ada keterangan waktu di lampu
lalu lintas, tapi lebih seringnya tidak ada;
2)
Para
pengendara ngebut begitu melihat lampu masih hijau;
3)
Waktu
untuk rambu lampu hijau sudah hamper habis, pengendara cemas;
4) Karena malas berhenti atau sedang
buru-buru, atau memang iseng, kendaraan bermotor suka ‘bablas’ ketika lampu
hijau baru saja berubah jadi merah.
Hanya
selisih sepersekian detik memang, tapi mari kita umpamakan kalau tiba-tiba ada
kendaraan dari arah lain melintas, bisa terjadi kecelakaan fatal. Apalagi
seringkali ada motor yang senang mencuri start
duluan sebelum lampu hijau benar-benar menyala. Sudah klop lah bahayanya karena
tabiat orang Indonesia memang sudah kurang taat peraturan seperti itu.
Masih ada banyak lagi jenis
pelanggaran lalu lintas yang pernah kujumpai. Sekali lagi aku tekankan ya,
bukan aku yang melanggar.
Salah satu pelanggaran yang
paling ‘hits’ di ibukota adalah masuk jalur busway. Busway sendiri adalah jalur
khusus yang dibangun pemerintah sejak ada kendaraan umum berupa bus Trans yang
memiliki trayek dan jalur sendiri. Anehnya, meski sudah ada larangannya, tetap
saja jalur ini dijejali kendaraan lain. Mobil pribadi, angkot, bahkan sepeda
motor sering merangsek masuk jalur ini. Tujuannya tentu saja untuk menghindari
kemacetan yang mengular.
Bayangkan saja bila ada bus Trans
yang melaju kencang menuju ke haltenya di jalur busway, sementara ada sepeda
motor yang tiba-tiba berada di jalur itu. Sudah kerap kali masuk berita, ada
pengendara motor yang terlindas bus di jalur busway. Lagi-lagi itu salahnya
sendiri, ‘Salah jalan broo…’.
Tak ada habisnya aku mengenang
peristiwa semacam ini. Mungkin ada yang menganggapnya tidak penting. Tapi aku
menjadikan hal-hal ini sebagai pelajaran di jalan raya. Demi keselamatan diri
sendiri dan pengendara lain tentunya. Karena setelah aku amati, jangankan
mereka yang melanggar lalu lintas, orang-orang yang taat peraturan serta selalu
mementingkan keselamatan dalam berkendara, masih bisa juga terkena musibah
kecelakaan lalu lintas di jalan.
Dari hasil sedikit baca-baca
surat kabar, aku tahu bahwa menurut Data Kepolisian Republik Indonesia tahun
2014, sepanjang tahun lalu jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu
lintas di Indonesia mencapai 31.234 jiwa. Dan sebesar 70% kecelakaan di jalan
raya itu, melibatkan pengendara sepeda motor.
Beragam jenis penyebab kecelakaan
lalu lintas, entah itu ketidakdisiplinan dalam memakai alat pelindung diri saat
berkendara, rendahnya ketaatan terhadap peraturan lalu lintas, fisik yang
kurang fit saat berkendara, tidak serius atau bercanda selama berkendara,
bahkan bisa jadi tindakan kriminal seperti mabuk pada saat berkendara. Semua itu
berawal dari keteledoran satu pengendara, namun akhirnya mengakibatkan
kecelakaan beruntun yang fatal.
Bukan bermaksud sok tahu, tapi
tak semua orang tahu akan fakta-fakta ini. Walaupun ada yang tahu, di mataku
sebagian besar orang sudah terbiasa mengabaikannya. Miris.
*************
Hari ini cukup sudah pengamatanku
dari warung kopi pinggir jalan. Aku bersiap untuk melanjutkan perjalanan saat
kulihat ‘pengendara’ku sudah meraih jaketnya dan memakai sarung tangan. Lantas
meraih helm full-face yang digantungkannya
pada gagang spion ku.
Ya, aku adalah sebuah sepeda
motor matic yang dengan setia
menemani pengendaranya menyusuri jalanan ibukota, mencari nafkah. Mungkin
seharusnya kuperkenalkan dulu pemilikku ini sejak awal. Ia adalah seorang
pemuda yang polos, rajin bekerja sebagai sales produk makanan, taat beribadah,
masih jomblo dan tentunya sangat mengutamakan keselamatan berkendara.
Yang kutahu, ia selalu mengenakan
perlengkapan standar pengendara bermotor. Helm SNI, jaket, sarung tangan,
sepatu yang nyaman, kadang juga masker bila polusi udara sudah tak tertahankan.
Ia juga selalu merawatku dengan baik. Membersihkanku meski kadang kala tak ada
waktu, mengantarku ke service dealer
tepat pada waktunya, selalu mengecek tekanan ban sebelum bepergian, dan ia
bahkan selalu berkomitmen untuk mengisiku dengan bahan bakar yang berkualitas.
Pemilikku juga seorang yang paham
dan tertib lalu lintas. Ia lulus ujian SIM C dengan melalui ujian tertulis dan praktik.
Surat-surat kendaraan selalu diperbaharui sebelum jatuh tenggat masanya. Dalam
berkendara pun ia orang yang santun. Tak pernah ia membawaku menerobos lampu
merah, atau menyalip dari sisi yang salah. Tak pernah pula ia ikut
kebut-kebutan dan masuk ke jalur busway meski menghadapi macet di depan mata.
Mungkin orang seperti ini sudah
sangat langka di ibukota. Yang pasti, aku sangat bangga menjadi sepeda motornya
dan aku berjanji dalam hati, akan menjadi sarana transportasi yang berguna
baginya. Semoga saja aku panjang umur ya, supaya tetap aman dipakai oleh anak
cucunya nanti.
***********
Sekali lagi aku memperkenalkan
diri.
Aku adalah sebuah sepeda motor matic yang senang memperhatikan keadaan
lalu lintas di sekitarku. Setiap kali berpapasan dengan sesama kendaraan lain, terutama
sepeda motor dengan beragam jenis, variasi, dan merk, kami seringkali hanya
sempat bertukar senyum.
Meski di masa depan jumlah
kendaraan akan semakin meningkat, aku selalu berharap tingkat kecelakaan lalu
lintas tidak akan ikut meningkat. Tentunya itu bila didukung dengan kesadaran
oleh para pengendaranya. Sayang kami tak bisa mengatakan hal ini pada
pengendara dan pemilik kami. Kami hanya bisa
merasa bersalah karena dituding menyebabkan kemacetan, kepadatan dan
kecelakaan lalu lintas.
Bukankah kalian yang menciptakan
kami, menjual kami, dan menjadikan kami moda transportasi? Tidak. Kami tidak
menyalahkan kalian para pengendara. Namun, andaikan saja semua pengendara sama
seperti pemilikku ini, maka lalu lintas di ibukota dan kota lainnya di Indonesia
pasti bisa menjadi lebih tertib, aman dan nyaman.
Jangan salah kawan. Kami juga
punya hati. Dan ini mungkin bukan hanya suara hatiku, tapi juga suara hati
sepeda motor dan kendaraan lain.
Karena kami satu hati.
:))