Kapan Indonesiaku Cerdas?
Indonesia adalah sebuah negara berkembang. Itu menurut pelajaran Ilmu Sosial yang diajarkan di bangku sekolah. Tapi, sadarkah kita, dewasa ini Indonesia adalah suatu negeri yang tengah merangkak mencoba menapaki apa yang mereka sebut ‘era globalisasi’. Berjuang menyetarakan dirinya dengan dunia luar. Mencoba eksis secara global.
Melihat perkembangan bangsa ini, maka kita tidak boleh menutup mata. Dari sisi manapun kita memandang, selalu ada problematika nasional yang terangkai menjadi suatu krisis nyata yang berkepanjangan, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis percaya diri, dan berbagai macam krisis lainnya. Hal ini mendispersikan tujuan arus globalisasi menjadi kebingungan, istilahnya jadi ‘follower’.
Bila kita mencatat masalah demi masalah bangsa Indonesia, tak pernah akan ada kata ‘sudah’. Tapi sesungguhnya lakon dibelakang seluruh drama kehidupan bangsa yang mengalami kemerosotan ini adalah satu sisi penggerak bangsa yang kita sebut ‘pendidikan’. Kelakuan yang semakin mencerminkan pergeseran nilai-nilai kehidupan sebenarnya berpulang pada bagaimana seseorang dididik. Korupsi, kolusi, nepotisme, warna-warni politik itu. Demo massa, pergolakan ekonomi dan tingkah para pelaku pasar. Kalau sosok yang seharusnya jadi suri teladan malah menjadi bahan gunjingan publik, lantas bagaimana bangsa kita bisa maju dengan runtutan kehidupan yang seperti ini?
Pada intinya, ada satu realita yang tak terbantahkan. Rendahnya mutu pendidikan Indonesia menyebabkan lambannya pembangunan bangsa. Ketika sumber daya manusia yang melimpah di negeri ini tersia-sia. Hanya sedikit yang mampu mengenyam pendidikan baik dengan standar kelayakan ataupun penuh keterbatasan, disitulah titik kejatuhan kita. Dan titik pergolakan itu ditandai dengan hancurnya moral dan kepribadian bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu titik vital peradaban manusia. Yang sangat berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya suatu bangsa. Aristoteles, ahli filsafat Yunani kuno berpendapat, bahwa perbaikan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu meperbaiki sistem pendidikan. Begitu pula dengan Tokoh Pendiri nasional yakni Ir. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara, yang juga menyebutkan bahwa satu-satunya yang dapat mengubah nasib suatu bangsa hanyalah pendidikan. Lalu mengapa sampai saat ini kita sibuk membenahi hal-hal lain dan justru mengesampingkan pendidikan yang merupakan kunci dari pokok permasalahan bangsa. Sudahkah kita merealisasikan perhatian lebih terhadap dunia pendidikan Indonesia.?
Wacana terbaru, bahwa semakin banyak jumlah pelajar kita yang mampu mengangkat nama Indonesia di ajang bergengsi seperti Olympiade Sains Internasional tidak lantas menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia sudah mencapai tahap ‘berhasil’. Belajar dari sejarah yang telah lalu, Indonesia terdahulu justru bisa disebut sebagai produsen guru terbaik, karena ‘tetangga’ kita Malaysia sempat merasa perlu mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Namun sayangnya, hasil survey pada tahun 2005 menyebutkan bahwa Human Index Development Indonesia menduduki peringkat 112, jauh di bawah Malaysia dan Bangladesh. Data World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pun menyatakan, pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut; pada tahun 1997 dari 49 negara yang diteliti Indonesia berada di urutan 39. Pada tahun 1999, dari 47 negara yang disurvei Indonesia berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara Indonesia berada pada urutan 47 dan pada tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan yang ke 53.
Lantas apa masalahnya? Kenapa ‘prestasi’ pendidikan kita masih tidak bergeming dari posisi bawah? Entah dimana kesalahan itu. Pesimisme masyarakat atau kebijakan pemerintah? Merunut permasalahan yang menjadi paradigma itu, seperti membuka lembaran ‘pekerjaan rumah’ yang bertumpuk. Poin-poin penting yang berpengaruh dan menjadi tolok ukur pendidikan bangsa.
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Yang lainnya, masalah kesejahteraan guru. Ketika para ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ ini menuntut kesejahteraan yang sesuai dalam proses mensukseskan pendidikan, ternyata justru timbul lagi kesenjangan antara guru negeri dan swasta. Bahkan sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
Kalau yang diangkat adalah masalah kurang meratanya pendidikan nasional dan mahalnya ‘harga’ yang harus dibayarkan demi mendapatkan pendidikan yang bermutu, masyarakat tidak akan berhenti menjadikannya tema pokok obrolan sehari-hari. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar dan baru sedikit melingkupi Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan fakta dilapangan memperlihatkan sulitnya menyesuaikan ‘kantong’ orang-tua dengan biaya sekolah putra-putrinya. Bantuan BOS dan alokasi 20% APBN tetap belum bisa ‘menyentuh’ dunia pendidikan secara menyeluruh.
Bila kita mencoba mengesampingkan proses dan melihat hasil,ternyata prestasi siswa kita masih terbilang rendah. Membangggakan segelintir siswa yang mampu ‘go International’’ tapi tidak berusaha meng-upgrade sebagian besar yang masih tertinggal adalah salah satu kekurangan sistem pendidikan kita. Perubahan kurikulum yang terlalu ‘teratur’ menunjukkan efek yang tidak memuaskan dari hasil lulusan sekolah-sekolah di Indonesia. Kendati program UAN dengan standar nilai kelulusan tertentu telah dijalankan, namun hasilnya adalah penurunan mutu lulusan. Tampak jelas, baru sedikit saja passing grade dinaikkan telah muncul protes disana-sini. Bagaimana kesiapan para pendidik dan peserta didik? Dimana saat ujian berlangsung, guru justru mengajarkan muridnya mencontek dan bekerja sama demi mendapatkan hasil yang pasti, ‘LULUS’.
Bila sekilas saja gambaran dari kualitas insan-insan terdidik yang hanya sebatas jumlah kelulusan, nilai IPK, ijazah S1 dan S2 (yang sekarang ini ‘gampang’ dibeli, murah pun dapat), atau sertifikasi sudah terlihat. Maka bisa kita terawang dengan mata telanjang, nasib bangsa ditangan orang-orang yang terlanjur tumbuh dalam lingkungan didikan semacam ini. Apalagi jika mengingat-ingat jumlah sumber daya manusia lainnya yang tidak bisa mengetuk ‘pintu’ pendidikan.
Perlu diingat, sudah berapa puluh tahun Indonesia merdeka? Dimana setiap tahunnya keluar ribuan bahkan jutaan ‘kaum intelektual’. Tapi adakah yang telah berhasil merubah nasib bangsa? Sekalipun segelintir orang cerdas berhasil ‘dicetak’, apalah gunanya ilmu yang hanya menciptakan otak-otak cemerlang tanpa dilandasi kepribadian. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan itu bukan sekedar transfer of knowledge. Pendidikan itu juga harus belajar tentang behaviour, etika-moral dan mental anak didik. Bukankah sangat disayangkan jika para calon pemimpin bangsa dididik dengan cara yang salah hingga mempengaruhi tumbuh kembang bangsa itu sendiri.
Maka langkah pertama untuk merubah cerminan sikap dan perilaku bangsa yang terlanjur rusak, adalah dengan jalan menyelamatkan generasi muda lewat pendidikan. Memang bila kita terus melihat dan membandingkan, ‘rumput di halaman tetangga selalu lebih hijau’. Menyamakan ‘nilai’ pendidikan kita dengan negeri ‘jiran’ jelas masih belum mampu. Dan kalaupun harus meneladani sistem pendidikan Finlandia, negara yang paling tidak korup, yang mampu menduduki peringkat tertinggi untuk hal pendidikan, tentu sangat sulit dan jauh dari jangkauan.
Tapi hal yang sulit itu bukanlah angan belaka jika kita sebagai bagian dari roda penggerak pembangunan bangsa terus berusaha berperan aktif dalam mewujudkan bangsa yang maju, baik itu dengan percepatan peningkatan mutu pendidikan Indonesia, pembenahan kurikulum nasional, serta penataan mutu tenaga pendidik yang simultan. Semuanya diharapkan akan membawa perubahan ke arah terciptanya manusia Indonesia yang berpendidikan baik, bermoral, dan berdaya saing tinggi. Sehingga mimpi itu, Indonesia yang makmur, bebas korupsi, cerdas dan inovatif akan segera terwujud, tumbuh menjadi negeri yang lebih baik.
Berfikir, bangkit dan lakukan! Jangan hanya bertanya, ‘kapan Indonesiaku cerdas?’’.
Referensi : Depdiknas,BP-PLSP, dan sumber lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar