Jumat, 30 Oktober 2015

Satu Hati (Bukan Kisah Cinta)


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Akhirnya saya nulis lagi gais... (terharu.com)
Semoga bermanfaat ya...

Enjoy :) 


Satu Hati (Bukan Kisah Cinta)
Siang itu terik seperti biasanya. Orang Indonesia bilang ini musim kemarau, tapi turis asing punya sebutan keren “summer” atau musim panas. Aku berteduh di bawah atap warung kopi sederhana, langsung menghadap jalan raya. Kalau kuperhatikan, jalanan ini tak pernah lengang. Kendaraan yang berlalu lalang terlalu variatif. Sebutkan saja semua moda transportasi darat; mobil, sepeda motor, angkot, bus kota, bus AKAP, truk, sepeda, bahkan sesekali ada bajaj atau delman nyasar yang lewat. Mungkin hal ini dikarenakan warung kopi ini tepat berada di pinggir ruas jalan pinggiran ibukota yang ramai.
Iseng saja kuperhatikan pengunjung warung kopi yang datang silih berganti. Ada yang menghabiskan sepanjang siang hingga sore hari hanya karena tak mau menghajar panasnya cuaca, ada yang sekedar memesan kopi untuk sekali tenggak lantas melanjutkan perjalanan, ada yang memang niat nongkrong sambil ngopi murah, tapi menurutku yang paling parah adalah mereka yang mampir tapi malah tanya WC dimana.
Kadang kalau punya waktu lebih lama, bisa kusimak pembicaraan para pengendara yang melepas lelah di warung kopi ini. Topik pembicaraannya tak jauh-jauh dari menghujat Presiden, membahas harga bahan bakar yang semakin labil, atau curhat masalah gaji yang tak kunjung ada kenaikan. Tapi yang paling menarik dan sering kucuri dengar adalah percakapan para pengendara motor yang cenderung lebih seru. Terkadang penampilan mereka juga tak kalah seru.
Kemarin aku ingat ada seorang pengendara motor yang gayanya maksimal, ‘RIDER’ banget! Bagaimana tidak, jaket kulit hitamnya melekat sempurna ditubuh laki-laki yang cungkring itu, celana panjangnya tak kalah ketat dengan sejenis rantai yang melingkar di pinggangnya (kemungkinan itu rantai dompet, lah ini kan style jadul yak?), penampilan sempurna itu ditunjang dengan boots yang kelihatan KW tapi kinclong serta sarung tangan kulit yang ada duri-durinya. Orang semacam ini akan muncul dengan helm balap hitam yang mahal, biar kelihatan imbang dengan motor sport-nya yang tak mungkin dibeli cash.
Begitu memarkir motornya di tempat aman, ia akan melangkah parlente ke warung kopi dan memesan kopi yang paling murah dengan gaya segaul mungkin.
“Pesen kopi item satu bro! Nggak pake gula, eh kalo gratis ya boleh lah!”
Meski jelas uangnya pas-pasan, ia akan tetap memamerkan sepeda motor kerennya. Motor 1000cc yang setiap dipacu akan membuat pengendaranya jadi merasa seperti Om Rossi. Aku tak ragu para pemilik motor semacam ini senang ikut balapan liar. Tapi melihat perlengkapan bermotornya dan kostum sempurnanya, aku sempat mengira dia pengendara yang cukup peduli pada safety.
Bayanganku langsung buyar dan aku kecewa ketika sempat mendengarnya bercerita dengan bangga bahwa ia kerap memacu sepeda motornya di atas kecepatan rata-rata yang diperbolehkan di jalan raya dalam kota.
“Yang penting kan gue safety bro… Pake jaket, pelindung tangan, sepatu, helm…” pengendara ini komat-kamit pamer pada lelaki muda lainnya yang nampaknya sok paham.
‘Tuh kan bener dia pasti hobi balapan juga! Safety dari Hongkong Mas?! Caramu nyetir motor itu lho yang nggak safe sama sekali!’ Ingin rasanya aku mengomel di hadapannya tapi apa daya aku hanya bisa mencibir dalam hati.
Di lain kesempatan, aku ingat betul sedang bergeming di warung kopi yang sama, tapi menghadap persimpangan jalan dimana ada lampu lalu lintas yang acapkali mati sehingga menimbulkan kericuhan. Maka dari itu, beberapa kali ada polisi lalu lintas yang ditugaskan mengatur traffic di sana. Aku sih, senang-senang saja melihat situasi semacam ini. Kalian tahu kenapa? Karena aku sering menonton adegan drama antara polisi dan pengendara yang kena tilang.
Yap. Keberadaan polisi lalu lintas seringkali menjadi momok bagi para pengendara. Dibandingkan pengendara mobil atau supir angkutan umum, para pengendara sepeda motor lebih sering tertangkap basah sedang melanggar peraturan. Entah itu yang sudah tahu tapi sengaja melanggar, atau mereka yang memang bawa motornya ‘ngawur’. Aku saja tahu bahwa rambu lalu-lintas itu bukan sekedar pajangan. Entah kenapa masih ada saja yang nekad melanggarnya.
Lamat-lamat kudengar bunyi peluit dan keributan kecil di lampu merah. Ada pengendara motor yang sedang apes, tertangkap oleh polisi lalu lintas yang sedang piket hari itu, seorang polwan berperawakan tinggi besar sementara yang tertangkap adalah bocah-bocah berseragam SMP yang sedang boncengan bertiga. Entah orang-orang terinspirasi lagu dangdut atau apa, yang jelas aku tahu apa sebutan bagi pelanggar lalu lintas semacam ini, ‘cabe-cabean’.
 Percakapan mereka lalu bisa kusimak setelah ketiga pelanggar cilik itu diseret ke pos polisi yang tak jauh letaknya dari warung kopi.
“Adek tahu salahnya apa?!” Aku mendengar suara ibu polwan yang menggelegar itu dan sedikit gentar, padahal bukan aku yang sedang diinterogasi. Bisa kulihat pula tiga anak SMP yang menciut di samping sepeda motornya.
“He…helm…helmnya kurang satu Bu…” Si anak yang paling tinggi berusaha memberikan klarifikasi tapi gagal.
“YA JELAS HELM NYA KURANG SATU! KAN KALIAN BONCENG TIGA!” si ibu polwan muntab, salah satu anak mulai menangis, aku curiga yang dua lagi hampir kencing di celana karena gugup.
“Tak ada surat-surat juga! Mana STNK motor kau? Belum lagi kalian masih kecil-kecil pulak! Mana mungkin punya SIM! Dan kenapa pulak orangtuanya kasih saja motor, kan banyak kendaraan umum! Bah!”
Ada sekitar setengah jam lebih si ibu polwan mendaftar poin-poin pelanggaran yang dilakukan anak-anak itu. Hingga akhirnya adegan itu berakhir dengan tiga anak sekolahan itu pulang naik angkot karena motornya ditahan, belum lagi dapat bonus surat tilang. Wajah mereka pucat pasi, bukan karena habis disemprot habis-habisan oleh ibu polwan, tapi karena membayangkan omelan mamak nya di rumah. Kasihan sih. Tapi bagiku, mereka pantas mendapatkan peringatan semacam ini. Berhubung memang salah dan sudah membahayakan jiwanya sendiri juga orang lain, mungkin saja kan waktu mereka naik sepeda motor bertiga ada salah satu yang jatuh, atau parah-parahnya motor oleng dan mencelakakan pengendara lain. ‘Ah, anak jaman sekarang memang labil!’
Kadang aku juga bertanya-tanya, orangtua yang memberikan izin anak-anaknya mengendarai motor itu apa sudah memikirkan resikonya matang-matang. Jangankan ujian SIM dan lulus tes membaca tanda lalu lintas, sebagian besar anak-anak itu badannya kalah besar dengan motor yang dikendarainya. Sudah begitu tetap saja para remaja tanggung ini hobi memacu motornya kencang-kencang, ikut konvoi, dan terkadang sering gaya tak mau pakai helm, alasannya cuma mau ke warung yang dekat.
 ‘Lah, kalau dekat ya jalan kaki saja lah Dek!’ Aku mengomel dalam hati lagi.
*********
Dari hasil pengamatanku, kasus pelanggaran lalu lintas yang paling sering dijumpai tapi lebih banyak luput dari tindakan para polisi adalah menerobos lampu merah. Hampir seluruh kalangan pengguna sepeda motor pernah sengaja ataupun tidak sengaja karena ‘kepepet’ menerobos lampu merah.
Bila harus kujelaskan, kronologisnya sederhana saja.
1)      Lampu lalu lintas yang sudah berubah hijau hanya punya waktu singkat, kadang ada keterangan waktu di lampu lalu lintas, tapi lebih seringnya tidak ada;
2)      Para pengendara ngebut begitu melihat lampu masih hijau;
3)      Waktu untuk rambu lampu hijau sudah hamper habis, pengendara cemas;
4)      Karena malas berhenti atau sedang buru-buru, atau memang iseng, kendaraan bermotor suka ‘bablas’ ketika lampu hijau baru saja berubah jadi merah.
Hanya selisih sepersekian detik memang, tapi mari kita umpamakan kalau tiba-tiba ada kendaraan dari arah lain melintas, bisa terjadi kecelakaan fatal. Apalagi seringkali ada motor yang senang mencuri start duluan sebelum lampu hijau benar-benar menyala. Sudah klop lah bahayanya karena tabiat orang Indonesia memang sudah kurang taat peraturan seperti itu.
Masih ada banyak lagi jenis pelanggaran lalu lintas yang pernah kujumpai. Sekali lagi aku tekankan ya, bukan aku yang melanggar.
Salah satu pelanggaran yang paling ‘hits’ di ibukota adalah masuk jalur busway. Busway sendiri adalah jalur khusus yang dibangun pemerintah sejak ada kendaraan umum berupa bus Trans yang memiliki trayek dan jalur sendiri. Anehnya, meski sudah ada larangannya, tetap saja jalur ini dijejali kendaraan lain. Mobil pribadi, angkot, bahkan sepeda motor sering merangsek masuk jalur ini. Tujuannya tentu saja untuk menghindari kemacetan yang mengular.
Bayangkan saja bila ada bus Trans yang melaju kencang menuju ke haltenya di jalur busway, sementara ada sepeda motor yang tiba-tiba berada di jalur itu. Sudah kerap kali masuk berita, ada pengendara motor yang terlindas bus di jalur busway. Lagi-lagi itu salahnya sendiri, ‘Salah jalan broo…’.
Tak ada habisnya aku mengenang peristiwa semacam ini. Mungkin ada yang menganggapnya tidak penting. Tapi aku menjadikan hal-hal ini sebagai pelajaran di jalan raya. Demi keselamatan diri sendiri dan pengendara lain tentunya. Karena setelah aku amati, jangankan mereka yang melanggar lalu lintas, orang-orang yang taat peraturan serta selalu mementingkan keselamatan dalam berkendara, masih bisa juga terkena musibah kecelakaan lalu lintas di jalan.
Dari hasil sedikit baca-baca surat kabar, aku tahu bahwa menurut Data Kepolisian Republik Indonesia tahun 2014, sepanjang tahun lalu jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 31.234 jiwa. Dan sebesar 70% kecelakaan di jalan raya itu, melibatkan pengendara sepeda motor.
Beragam jenis penyebab kecelakaan lalu lintas, entah itu ketidakdisiplinan dalam memakai alat pelindung diri saat berkendara, rendahnya ketaatan terhadap peraturan lalu lintas, fisik yang kurang fit saat berkendara, tidak serius atau bercanda selama berkendara, bahkan bisa jadi tindakan kriminal seperti mabuk pada saat berkendara. Semua itu berawal dari keteledoran satu pengendara, namun akhirnya mengakibatkan kecelakaan beruntun yang fatal.
Bukan bermaksud sok tahu, tapi tak semua orang tahu akan fakta-fakta ini. Walaupun ada yang tahu, di mataku sebagian besar orang sudah terbiasa mengabaikannya. Miris.

*************
Hari ini cukup sudah pengamatanku dari warung kopi pinggir jalan. Aku bersiap untuk melanjutkan perjalanan saat kulihat ‘pengendara’ku sudah meraih jaketnya dan memakai sarung tangan. Lantas meraih helm full-face yang digantungkannya pada gagang spion ku.
Ya, aku adalah sebuah sepeda motor matic yang dengan setia menemani pengendaranya menyusuri jalanan ibukota, mencari nafkah. Mungkin seharusnya kuperkenalkan dulu pemilikku ini sejak awal. Ia adalah seorang pemuda yang polos, rajin bekerja sebagai sales produk makanan, taat beribadah, masih jomblo dan tentunya sangat mengutamakan keselamatan berkendara.
Yang kutahu, ia selalu mengenakan perlengkapan standar pengendara bermotor. Helm SNI, jaket, sarung tangan, sepatu yang nyaman, kadang juga masker bila polusi udara sudah tak tertahankan. Ia juga selalu merawatku dengan baik. Membersihkanku meski kadang kala tak ada waktu, mengantarku ke service dealer tepat pada waktunya, selalu mengecek tekanan ban sebelum bepergian, dan ia bahkan selalu berkomitmen untuk mengisiku dengan bahan bakar yang berkualitas.
Pemilikku juga seorang yang paham dan tertib lalu lintas. Ia lulus ujian SIM C dengan  melalui ujian tertulis dan praktik. Surat-surat kendaraan selalu diperbaharui sebelum jatuh tenggat masanya. Dalam berkendara pun ia orang yang santun. Tak pernah ia membawaku menerobos lampu merah, atau menyalip dari sisi yang salah. Tak pernah pula ia ikut kebut-kebutan dan masuk ke jalur busway meski menghadapi macet di depan mata.
Mungkin orang seperti ini sudah sangat langka di ibukota. Yang pasti, aku sangat bangga menjadi sepeda motornya dan aku berjanji dalam hati, akan menjadi sarana transportasi yang berguna baginya. Semoga saja aku panjang umur ya, supaya tetap aman dipakai oleh anak cucunya nanti.
***********
Sekali lagi aku memperkenalkan diri.
Aku adalah sebuah sepeda motor matic yang senang memperhatikan keadaan lalu lintas di sekitarku. Setiap kali berpapasan dengan sesama kendaraan lain, terutama sepeda motor dengan beragam jenis, variasi, dan merk, kami seringkali hanya sempat bertukar senyum.
Meski di masa depan jumlah kendaraan akan semakin meningkat, aku selalu berharap tingkat kecelakaan lalu lintas tidak akan ikut meningkat. Tentunya itu bila didukung dengan kesadaran oleh para pengendaranya. Sayang kami tak bisa mengatakan hal ini pada pengendara dan pemilik kami. Kami hanya bisa  merasa bersalah karena dituding menyebabkan kemacetan, kepadatan dan kecelakaan lalu lintas.
Bukankah kalian yang menciptakan kami, menjual kami, dan menjadikan kami moda transportasi? Tidak. Kami tidak menyalahkan kalian para pengendara. Namun, andaikan saja semua pengendara sama seperti pemilikku ini, maka lalu lintas di ibukota dan kota lainnya di Indonesia pasti bisa menjadi lebih tertib, aman dan nyaman.
Jangan salah kawan. Kami juga punya hati. Dan ini mungkin bukan hanya suara hatiku, tapi juga suara hati sepeda motor dan kendaraan lain.
Karena kami satu hati.

:))