Senin, 29 November 2010

cerpen iseng... maap menyinggung Semarang (sedikit banyak)

KOTA BUKAN MIMPI

Rasanya saya sedang bermimpi sore-sore. Apa yang selama ini hanya ada di benak saya tiba-tiba menjelma menjadi nyata. Beberapa orang menatap dengan pandangan iba campur ‘ngeri’, melihat saya, seorang remaja kampung yang berjongkok sambil ternganga di trotoar menatap bangunan tinggi besar bertuliskan NOVOTEL. Padahal bangunan paling besar di kampung saya adalah kantor kelurahan yang tidak bertingkat, tapi gedung yang satu ini tidak bisa saya hitung ada berapa tingkat.

‘Mimpi saya baru saja terwujud kawan’, mimpi menginjakkan kaki di kota besar. Sejak kecil saya selalu mengimajinasikan sendiri gambaran sebuah kota besar. Pasti rumah-rumahnya besar, jalan-jalannya besar, banyak mobilnya dan ada kemungkinan bisa bertemu selebritis di jalan! Tapi ternyata pengetahuan saya masih sangat dangkal.

Saya baru saja menyusun puzzle mimpi dan mencocokkannya dengan pemandangan yang kini saya lihat, ketika tiba-tiba lamunan saya dibuyarkan oleh semburan karbon monoksida tepat di depan muka, ada sebuah mobil menyemburkan gas buangnya tanpa sopan-santun. Warna-warni imajinasi yang sedang saya lukis pelan-pelan tertutup kelam, hitam pekat.

Selasa,

Setelah mengantar seorang teman di daerah Gunung Pati, saya memutuskan untuk langsung pulang ke rumah kakak orang tua saya. Satu-satunya akses yang ‘terjangkau kantong saya adalah bus kota. Maka ketika ada sebuah bus yang penuh sesak menepi, saya nekad naik. Beruntung masih dapat tempat duduk.

Suasana kota Semarang hari ini tetap panas, silau, menyengat. Saya sudah berusaha bertahan dibawah teriknya matahari kota ini. Meski tidak sepanas matahari Mesir yang mampu mengakibatkan meningitis, ‘wah, sok tahu sekali saya, padahal belum pernah ke Mesir’, namun sengatan sinar UV di kota ini cukup untuk membuat kulit saya yang sewarna sawo matang menjadi lebih ‘matang’. Mungkin hanya sugesti, tetapi udara siang hari kota Semarang sudah cukup menguras keringat saya meski hanya duduk manis di dalam bus DAMRI yang melaju menapaki kontur jalan kota yang berupa tanjakan dan turunan.

Bus yang saya naiki ini penuh sesak oleh anak sekolah yang berisik, bapak-bapak kantoran dengan peluh dan asap rokoknya yang membabi-buta, juga ibu-ibu paruh baya dengan ‘seabreg’ barang belanjaan dari Pasar Jatingaleh. Tak lupa posisi aneh saya, terhimpit oleh mas-mas pengamen yang bersender pada tempat duduk saya sambil memainkan ukulele dan menabuh alat musik buatan, sepintas mirip gendang, memainkan lagu H.Rhoma Irama.

Ketika bus melewati tikungan tajam Gombel, saya hanya bisa berdecak kagum melihat pemandangan rumah-rumah penduduk yang terhampar bak kebun bunga di bawah sana, rapat, padat dan berwarna-warni. Konon di malam hari rumah-rumah itu hanya akan terlihat sebagai titik-titik cahaya lampu yang tampak seperti percikan bintang di langit kota. Saya tidak sabar menunggu datangnya senja di kota Semarang, berharap suhu disekitar saya tidak lagi mencapai 36 derajat Celcius.

Pandangan saya sesaat menerawang, masih adakah kota besar yang tidak panas membara dikarenakan akumulasi gas-gas beracun dari mobil mewah dan angkutan kota yang semakin lama bisa melebihi jumlah penduduknya? Masih adakah kota yang modern namun penduduknya tidak egois mengendarai BMW-nya masing-masing hanya untuk berangkat ke kantor? Masih adakah kota dengan gedung-gedung mewah bertingkat dan disekelilingnya orang-orang bersepeda dipinggir jalan yang dinaungi pohon Flamboyan?

Kamis,

Begitu pak dhe menawarkan untuk melihat-lihat ‘kota’ hari ini, saya langsung mencari T-shirt paling bagus yang dibawakan emak dalam traveling-bag saya, tak lupa kantong uang berisi sedikit titipan dari bapak, hasil menyisihkan uang gajinya yang tidak seberapa sebagai tukang kayu di kampung. Menaiki motor Grand-nya pak dhe, kami melaju diantara mobil-mobil, angkutan kota dan Trans Semarang. Kata beliau, Semarang memang bukan kota wisata, jadi jangan coba-coba membandingkan dengan kota tetangga, Solo atau Jogja. Jangan harap bisa dapat pemandangan tempat wisata dengan turis yang bertebaran, tukang jajanan, atau pedagang souvenir.

Mungkin saya bukan pelancong yang akan protes karena tidak bisa menemukan tempat wisata yang aksesnya mudah dijangkau di kota ini, tetapi rasanya agak bingung juga sebagai newcomers yang ingin sekedar jalan-jalan. Menurut pemaparan pak dhe, di kota Semarang ada beberapa tempat yang kerap menjadi tujuan wisata, yang paling terkenal ‘yha Lawang Sewu, Vihara Watu Gong, dan klenteng Sam Poo Kong. Ada juga sebenarnya wisata candi Gedong Songo di daerah Bandungan, namun jarak tempuhnya dari kota dan dari rumah pak dhe lumayan jauh sehingga tidak recommended untuk saya kunjungi.

Pak dhe yang melihat wajah ‘ingin jalan-jalan’ saya lantas mengajak saya melihat pantai di Semarang yang katanya tidak begitu jauh dan tanpa basa basi mengarahkan motornya ke sisi lain kota. Begitu memasuki kompleks Pantai Marina, disekitarnya adalah kawasan hunian elit, ‘yang katanya merupakan salah satu pantai favorit di Semarang’. Saya sempat merasa terhibur, paling tidak deburan ombak dan pasir pantai bisa menghapus rasa rindu saya dengan suasana damai dan tenteram di kampung. Bahkan saya sempat membayangkan kalau-kalau Marina itu mirip Ancol!

Sedihnya, selepas membayar Rp.3.000,00 di loket, saya terhenyak menatap batu-batu dan dinding semen yang membatasi daerah yang disebut-sebut ‘pantai’ itu. Tidak ada pasir, tidak ada karang, tidak ada ombak, lagi-lagi hanya cuaca panas terik berdebu menyambut saya dan pak dhe. Meski keadaan disini bisa saya katakan ‘seadanya’, namun ternyata tidak sedikit pengunjung yang rela berpanas-panas ria demi menikmati sedikit semilir angin laut Jawa, sekedar bermain air kotor di pinggiran, serta wahana kapal motor yang bisa disewa untuk berkeliling. Sayangnya saya tidak tertarik sama sekali, ‘kalau cuma perahu begini mah’ di kampung juga banyak’. Saya hanya bergumam dalam hati, tidak enak pada yang empunya kapal, apalagi pada orang-orang yang rela berdesak-desakan. Entah mereka belum pernah naik kapal atau bagaimana, saya kurang paham.

Apakah tidak ada lagi sarana hiburan dan liburan yang murah dan mudah dijumpai di ibu kota provinsi ini? Saya jadi kasihan pada orang-orang yang butuh rekreasi, apa semua harus pergi ke Jogya atau Bali hanya untuk menikmati deburan ombak? Mungkin nanti akan saya tanyakan pada pak dhe dirumah.

Minggu,

Kalau di kampung saya, ada kebiasaan warga untuk ‘ngaso’ di alun-alun desa tiap sore. Di kota ini, saya terkesima saat budhe mengajak saya minggu pagi ke kawasan Simpang Lima. Pukul 5.00 pagi selepas shalat shubuh budhe dan adik sepupu saya sudah selesai dandan dengan riasan ala ‘ibu-ibu mau ke pasar’. Saya pikir saya bakal diajak ke pasar, belanja sayur-mayur, angkut-angkut beras, gotong-gotong ‘telo’, seperti yang selalu dilakukan emak di kampung. Ternyata saya diajak ke pusat jual beli yang selalu meramaikan kawasan Simpang Lima di Minggu pagi. Orang Semarang menyebutnya ‘awul-awul’, tempat dimana berbagai barang dijual dengan harga bervariasi. Mulai dari standar Mall, harga pasar, grosiran, sampai ‘banting harga’!

Jalan raya sekitar ‘awul-awul’ pun disulap menjadi pasar yang lebih ramai daripada kenduri di kampung saya. Penjaja makanan dan jajanan khas Semarang bertebaran, pedagang mainan, parfum, buku, pernak-pernak dan pakaian menggelar dagangannya. Yang membuat saya ‘ngiler’ disini adalah beragam pakaian baru dan bekas yang dijual dengan harga sangat ‘miring’. Tanpa pikir panjang, dengan berlagak kaya saya memborong selusin pakaian anak seharga Rp. 2.000,00 per-item. Bukan untuk dijual lagi, tapi untuk adik-adik sepupu di kampung. Pasti kesannya nanti keren sekali ketika saya membawa oleh-oleh ‘baju dari kota’.

Tetapi saya heran ketika melihat Icha, adik sepupu saya, tidak membeli apa-apa. “Mau belanja di Mall saja”, begitu katanya. Saya semakin heran karena saya tahunya kalau barang-barang di Mall itu mahal sekali. Kata budhe ada barang diskon juga, tapi saya yakin 1 baju diskon di Mall harganya sama dengan selusin pakaian yang saya beli di ‘awul-awul’. Di kawasan Simpang Lima ini memang terdapat pusat perbelanjaan besar dan modern, yaitu Mall Ciputra, yang ternyata ‘nyambung’ dengan hotel Ciputra, ada pula Matahari Departement Store serta beberapa tempat lain, yang pastinya menjual barang dengan harga yang tidak sesuai kantong saya.

“Icha, memangnya punya uang buat belanja di Mall?” saya bertanya pada putri budhe itu. Dan jawabannya ternyata, “Ya kalau gak punya uang, ke Mall buat nongkrong aja Mas…Buat gaul gitu…”. Ternyata anak-anak budhe dan pak dhe termasuk anak gaul kota Semarang. “Nanti sore Icha mau jalan sama temen-temen lho Mas, mau ke PARAGON… Mas ikut saja…” adik sepupu saya menawarkan, tapi saya menatap baju-baju ‘dua ribuan’ di dalam kantong plastik dan menggeleng saja. ‘PARAGON itu bukannya nama tower gedung ya?’ otak kampung saya malah menyambungkan nama Mall dengan PENTAGON yang letaknya jelas-jelas bukan di Semarang!

Saya menatap hotel dan Mall-mall itu dengan tatapan menerawang. Di dalamnya pasti seperti lautan manusia yang gaya hidupnya sangat berbeda dengan saya. Tua, muda, laki-laki, perempuan, anak SMA, mahasiswa, dari yang modis sampai yang ‘berkostum’ seadanya. Mall di kota besar saat ini sepertinya sudah menjadi kebutuhan hidup. Siapa bilang orang datang ke Mall pasti untuk belanja sesuatu? Mall menjadi sarana rekreasi yang lama-lama merambah ke semua kalangan. Mau mencari distro dengan harga ‘selangit’ atau memilih barang diskon di basement , semua bisa diatur.

Saya menghela napas memikirkan seandainya di kampung saya juga ada Mall. Bisa-bisa emak panik kalau setiap pulang sekolah anak-anaknya sudah ‘nongkrong’ di Mall, pergi ke Cinema 21, makan di Mc.Donalds, atau hanya untuk ‘gaul’ bersama teman-temannya. Sudahlah, cukup di kota besar saja ada tempat-tempat semacam ini. ‘Orang kampung macam saya sudah merasa cukup puas dengan pasar tradisional kok’, lagipula saya yakin, emak pasti kalang-kabut kalau disuruh naik escalator atau lift.

Jumat,

Selepas menemani pak dhe shalat Jumat di Masjid Agung Jawa Tengah, saya sekali lagi diajak berkeliling kota Semarang. Kali ini pak dhe membawa Grand-nya ke kawasan Kota Lama. ‘Mau menjenguk teman sekalian ajak kamu lihat TAWANG’ begitu katanya.

Maka ketika melihat sebuah jalan yang tidak beraspal tetapi tersusun rapi oleh balok-balok paving, saya langsung berseri-seri. Pantas saja daerah ini disebut kota lama. Bangunan-bangunan kuno yang membuat saya teringat background foto-foto pre-wedding berdiri tegap di sepanjang jalan. Lorong-lorong sempit diapit tembok beton bangunan ala ‘kumpeni’ de Oranje terlihat sangat orisinil dan bernilai sejarah.

Pak dhe mengajak saya melihat sebuah tempat yang unik lagi disini. Gereja Blenduk, sebuah gereja yang arsitekturnya sangat unik. Kubahnya yang ‘mblenduk’ justru terlihat seperti masjid, meski demikian masih jelas terlihat simbol umat kristiani disana. Benar-benar bangunan semikuno yang bagus sekali. Pantas saja disana ada beberapa anak muda sebaya saya sedang berpose centil diiringi jepretan dan blitz dari camera digital.

Namun saying lagi-lagi saya harus memberikan nilai minus atas segala keunikan dan nilai sejarah yang ada di tempat ini ketika kaki saya tiba-tiba harus ber’banjir’ ria. Benar sekali, kawasan kota lama dan Stasiun Tawang adalah ‘langganan’ terkena banjir rob. Kontur kota yang naik turun dan letaknya yang berdekatan dengan laut menjadikan Semarang sering tergenang luapan air dari laut. Sedikit saja hujan turun dengan intesitas berlebih, disana-sini akan segera menggenang air, alias banjir.

Meski demikian, kata pak dhe banjir ini cepat datang, juga cepat surut. Di kawasan Simpang Lima saja (tempat saya membeli baju dua ribuan kemarin), sudah dirancang suatu system drainase di bawah tanah demi menanggulangi banjir ini. Meski hujan deras mengguyur dan menyebabkan air semata kaki hingga lutut menggenangi jalan, dalam waktu 15 menit setelah hujan reda air ini akan surut. Sayangnya banjir di sekitar Tawang dan kota lama tidak bisa surut secepat itu.

Saya langsung melayangkan pikiran ke kampung saya. Meski hujan sederas apapun, tidak pernah sampai terjadi banjir, paling-paling jalanan pasar saja yang jadi becek minta ampun. Mungkin karena masih banyak daerah serapan air dan pohon-pohon serta hutan menghijau di sekitar kampung saya. Beda sekali dengan kota besar ini. Rasanya aneh ketika kemarin melewati Ungaran, ibukota Kabupaten yang notabene terletak di bagian ‘atas’ Semarang, jalanannya juga banjir ketika hujan. Apa mungkin selokan-selokan dan daerah aliran airnya mampet semua oleh sampah? Apa harus saya, bocah kampung pendatang ini juga yang mencari tahu problematika kota besar ini?

Maka saya tidak heran lagi kalau disuruh membandingkan dengan berita di TV kalau ‘ibukota negara’ juga sering banjir.

Sabtu,

Semarang, xx-xx-2010

Assalamua’laikum,

Emak, Bapak, Adik-adik, saya disini sehat-sehat saja. InsyaAllah ketika nanti saya sudah mulai kerja ikut pak dhe, saya bisa mengumpulkan uang untuk pulang kampung. Mungkin kalian berfikir saya enak bisa ke kota besar, tapi percayalah, kota ini tidak sebagus apa yang kita miliki di kampung.

Saya rindu dengan suasana tenang yang sejuk di pagi hari, tanpa asap kendaraan bermotor dan suara bising kerumunan manusia dengan panas matahari yang membuat saya tidak berhenti berkeringat. Saya juga rindu masakan emak yang enak dan murah tentunya, disini harga makanan mahal sekali.

Untuk Adik-adik, saran saya, sekolah yang tinggi, jangan sampai terputus di tengah jalan seperti saya. Dan kalau sudah sekolah tinggi, carilah kota besar yang nyaman, yang teratur kehidupannya, yang aman situasinya, dan ramah penduduknya.

Mungkin apa yang saya ceritakan ini bukanlah kota impian seperti yang sering saya ceritakan pada Lilik, Udin dan Ahmad, adik-adikku. Tapi saya ingin kalian suatu hari nanti bias menemukan kota impian kalian sendiri.

Jaga kesehatan, doakan terus saya.

Wassalam,

Ananda dan Abang kalian,


Setya Pambudi

Saya melipat surat pertama saya untuk keluarga dikampung sambil tersenyum penuh harapan. Kota mimpi yang ada di depan mata saya sekarang adalah harapan saya untuk bias membahagiakan orang-orang yang saya cintai. Apakah kamu juga telah menemukan kota impian mu?

Tidak ada komentar: