Minggu, 21 April 2013

For KARTINI’s Day



Bukannya kurang kerjaan, tapi kalau ada waktu untuk meresapi falsafahnya wanita Indonesia tempo dulu (dan kini) yang dikenal dengan sebutan “Ibu (kita) Kartini”, cobalah duduk memandang langit dari sejak awal mendung, sampai turun titik air pertama, yang kemudian disusul  guyuran maupun tumpahan  air yang kadang gak bisa diprediksikan manusia, hingga limpahan air itu mulai mereda dan berhenti sama sekali, hanya menyisakan butir-butir air di dedaunan dan rumput-rumputan (sampai disini dilarang GALAU yah ).

Apa yang kalian perhatikan? Bukan. Bukan becekan yang tertinggal. Bukan pula sisa-sisa kelembaban jemuran yang lupa diangkat. Tapi coba perhatikan langitnya.

Dia yang awalnya kelabu-disertai bunyi khas nya -guntur yang membuat sebagian orang bergidik ngeri sementara sebagian lainnya sibuk menyebut nama Tuhan (mungkin lagi usaha tobat)- perlahan semakin cerah, kemudian menjadi terang, dan kembali kepada kedudukan awalnya.
Langit yang bersih tak berawan, seperti kosong. Saat itulah dia mulai dari awal lagi.

Awal proses terbentuknya hujan (bagan siklusnya saya baca sejak SD). Yang intinya adalah : pokoknya air dari mana-mana, mau dari selokan, sungai, waduk, genangan, comberan, semua bermuara di lautan yang kemudian teruapkan dengan sendirinya membentuk titik-titik awan di langit. Nanti kalau dalam gumpalan awan itu intensitas titik air nya sudah gak bisa ditampung, dia bakal jatuh. Balik lagi ke asalnya, bumi, tanah. Sama kayak manusia, yang bakal kembali ke bumi, tanah.

Kalau bagi saya, proses ini saya sebut ‘Habis Gelap terbitlah Terang’ (maap bunda Kartini, saya pinjem judul bukunya).
Bagi saya, hujan mengajarkan bahwa proses bersyukur itu punya siklus.
Umumnya kita mengucap ‘alhamdulillah’ ketika sudah berada pada fase ‘terang’. Sebut saja, kamu mau pergi keluar rumah, lalu hari hujan. Kamu biasanya akan menggerutu, ngomel, gak lupa update status telat berangkat. Baru ketika hujan mulai reda, kamu mengucap syukur (itupun kalau ingat) lalu bergegas mengambil langkah ketujuan semula.

Seharusnya, rasa syukur itu hadir ketika pertama kali menyaksikan mendung itu menghiasi langit yang seperti mau runtuh. Kenapa? Karena tanpa mendung, gak akan turun hujan, dan gak akan ada pelangi di langit yang sudah terang. See, mana bisa kita tiba-tiba bersyukur atas pelanginya saja? Sementara proses terbentuknya yang sedemikian runut itu lebih sering kita protes kepada Sang Pencipta.

Sama ketika kita diajari untuk menyikapi musibah dengan rasa syukur. Kenapa? Karena setelah musibah itu selesai nantinya pasti akan ada hikmahnya. Gak lucu kan kalau dipikir-pikir tiba-tiba Cuma muncul hikmah tanpa ada siklus masalahnya (walaupun hikmah bukan melulu hasil akhir dari musibah).

Yang pasti, mungkin sejak saat ini saya akan selalu tersadar setiap melihat langit. Apakah saya sudah bersyukur atas ‘mendung’ yang datang dalam kehidupan saya? Ataukah saya Cuma peduli ketika langit sudah terang dan ada pelanginya?

Semoga setiap orang juga akan sadar, bahwa sebelum ada terang, harus ada gelap. Maka syukurilah gelap itu, dan seharusnya kita semakin bersyukur, karena kalau siklusnya masih berjalan dengan benar, habis gelap (pasti) terbitlah terang.



~Selamat Hari Kartini~ J

Tidak ada komentar: