Sabtu, 27 November 2010

FROM WASTE to LOVE...


dibuat dalam rangka LOMBA ESAY TEKIM... ga tau menang ato gak... just share~


Siapa guru favoritmu?

Apabila diminta untuk memutar kembali memori dari zaman taman kanak-kanak maupun sekolah dasar, masih cukup jelas dalam ingatan saya, wajah-wajah guru yang senantiasa membimbing saya dengan sabar layaknya anak sendiri. Begitu pula dengan ‘film jadul’ kenangan masa SMP dan SMA. Bila ditanya siapa guru favorit saya dikala itu, maka saya akan dengan tegas menyebutkan, ‘Ibu A’ atau ‘Bapak B’.

Sebagai seorang siswa, terkadang kenangan yang membekas di dalam hati dan mampu menjadikan sosok gurunya sebagai teladan atau panutan tidak selalu kenangan yang menyenangkan. Tidak jarang guru-guru yang killer justru menjadi guru favorit seantero sekolah. Meski tidak jarang juga guru yang populer di mata muridnya adalah mereka yang memenuhi kriteria, untuk wanita: cantik, baik hati, tidak sombong, tidak pelit nilai, sabar, tidak suka marah-marah. Dan untuk laki-laki, biasanya yang masih (berjiwa) muda, ‘ganteng’, dan senang ‘nongkrong’ bersama murid-muridnya.

Lantas, bagaimana bila pertanyaannya diubah menjadi,‘Siapa dosen favoritmu?’. Mungkin saya harus merunut dari awal untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Apakah dosen sama dengan guru? Jawabannya ‘ya’ dan ‘tidak’. ‘Ya’, karena mereka sama-sama berprofesi sebagai pendidik, meski tidak jarang saat ini banyak pendidik yang salah menempatkan diri di posisi ‘pengajar’ yang kesannya hanya melaksanakan tugas menyampaikan materi. Dan ‘tidak’, karena pastinya mereka memiliki ‘lapangan kerja’ yang berbeda, guru di sekolah, dosen di universitas. Terlalu klise dan sederhana mungkin, karena yang sebenarnya perlu ditelusuri disini adalah, apakah kriteria dosen favorit sama dengan guru favorit?

Berdasarkan pengamatan saya selama ‘berguru’ dan menimba ilmu dengan dosen-dosen di kampus saya tercinta, Teknik Kimia, dosen yang menjadi favorit mahasiswa dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama, dosen-dosen muda berprestasi. Kelompok ini terdiri dari dosen-dosen yang terkenal aktif berkarya dan ‘mengkaryakan’ mahasiswanya serta mampu meraih banyak penghargaan meski masih terhitung belia dalam kancah persaingan Teknik Kimia.

Dosen-dosen ini memiliki karakter yang berbeda-beda dari segi penampilan maupun cara mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswanya. Ada dosen yang lebih senang ‘guyon’ dan berpenampilan santai seadanya. Ada pula dosen muda yang selalu tampil fresh dan modis di kampus. Persamaannya tentu saja dari segi kemampuan dan skill yang memiliki daya saing tinggi. Maka tidak jarang dosen-dosen muda dari jurusan saya meraih penghargaan tingkat nasional. Mahasiswa mana yang tidak bangga memiliki dosen seperti ini, yang lantas kemudian menjadikan mereka model dari dosen teladan serta favorit sekian banyak mahasiswa.

Kelompok kedua, adalah dosen-dosen ‘sepuh’ yang baik hati. Mengapa saya katakan disini dosen ‘sepuh’? Karena di jurusan saya masih cukup banyak dosen-dosen yang dulunya sempat turut ‘mendirikan’ Teknik Kimia, yang masih aktif mengajar di kampus meski seharusnya mereka sudah menikmati masa-masa vacation di hari tua. Bukan karena terpaksa, tetapi karena merasa bertanggung jawab dan tuntutan karir. Dosen-dosen senior ini biasanya baik hati, tidak bisa marah, tidak minta macam-macam, dan biasanya ‘murah’ nilai. Mahasiswa mana yang tidak bahagia luar biasa, bila setelah ‘hampir mati’ ketika ujian, masih bisa mendapatkan nilai ‘A’ secara ajaib di transkripnya? Meski ada juga dosen sepuh yang ‘keras’ dan teguh pendiriannya, jangan salah, dosen ini pun merupakan salah satu dosen ‘terfavorit sepanjang masa’.

Kelompok yang ketiga, terdiri atas dosen-dosen yang ‘dingin’. Kebanyakan dosen-dosen ini bukan termasuk dosen muda, ataupun dosen sepuh. Mereka justru tengah menapaki karir, meraih gelar professor, dan berkecimpung dalam organisasi setingkat fakultas, universitas, bahkan langsung terjun di masyarakat. Meski tergolong dingin atau terkesan cuek kepada mahasiswanya, dosen-dosen ini memiliki kepribadian yang patut dicontoh, semangat kerja yang tinggi dan ketegasan yang mampu membuat mahasiswa ‘hormat’ pada mereka.

Lantas, siapa dosen favorit saya? Apakah beliau seorang dosen muda yang sibuk berkarya? Dosen sepuh yang masih tetap mengabdi untuk bangsa? Atau dosen-dosen bergelar professor? Bukan.

Ketika saya melihat laki-laki ini, yang muncul di benak saya adalah sosok ‘bapak’. Melihatnya mengajar selama kuliah membuat saya menyadari pentingnya kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Mengikuti materi kuliahnya memberi saya banyak ‘ilham’ untuk belajar dan berkarya. Mendengarkan nasihatnya membuat saya semakin mengagumi sosoknya. Sosok sabar, lembut, dan cerdas seorang Agus Hadiyarto.

Dosen yang satu ini karyanya tidak se’booming’ dosen-dosen muda. Bukan pula dosen killer yang bila mengajar selalu membuat mahasiswanya gugup. Pembawaan beliau yang santai dan tenang bagi saya adalah ‘kesejukan’ selama mengikuti kuliahnya. Meski tidak banyak mengobrol dengan mahasiswa, tetapi kepeduliannya sangatlah tinggi. Apalagi dosen yang kerap mengajar materi yang berhubungan dengan lingkungan dan limbah ini juga menjadi dosen pembimbing di Laboratorium Dasar Teknik Kimia I, tempat saya menimba ilmu sebagai asisten. Tidak jarang beliau memberikan advice langsung tentang laboratorium, ini sangat membantu dan memberikan ‘semangat’ tersendiri bagi saya.

Hal yang paling membuat saya mengagumi dosen yang satu ini adalah ‘perhatiannya’ terhadap lingkungan. Sejak mengikuti materi kuliahnya, Ilmu Lingkungan dan Pengolahan Limbah, beliau menjadi sumber inspirasi saya dalam usaha ‘menyelamatkan’ lingkungan. Banyak hal kecil dari penuturan beliau yang mampu menyadarkan saya bahwa sebagai seorang chemical engineer kita tidak hanya bisa menghasilkan produk dan limbahnya, tetapi juga bisa menjaga lingkungan dari dampak buruk hasil ‘karya’ para engineer ini.

Sejak bertemu dan bertukar pikiran dengan beliau, saya merasakan banyak perubahan terjadi dalam diri saya. Meningkatnya kepekaan saya terhadap alam, kebencian saya setiap kali melihat sampah dimana-mana dan ketertarikan saya terhadap pencemaran yang terjadi di sekitar kita. Semua bersumber dari betapa seringnya saya merenungkan perkataan seorang Agus Hadiyarto. Masih jelas teringat, saat menjadi pembimbing saya untuk Program Kreativitas Mahasiswa, beliau mengatakan, ‘Kalau membuat proposal, covernya kalau bisa jangan pakai plastik mika ya…’. Dari kata-kata sepele itu tercermin kepedulian dan kecintaan beliau pada lingkungan.

Bagi saya, dosen favorit tidak harus orang ‘nomor 1’. Tidak harus berpendidikan S3. Tidak harus membimbing banyak PKM dan membuat mahasiswanya menjadi juara. Dosen favorit saya cukuplah seseorang yang memberikan pengaruh ‘kecil’ namun mampu merubah saya menjadi seorang yang ‘peka’ hati nuraninya.

Maka ketika suatu hari nanti ada yang bertanya, ‘Siapa dosen favoritmu?’, dengan rasa hormat dan cinta yang teramat dalam, saya akan menjawab, ‘Seseorang yang membuat saya tak lagi berpangku tangan melihat sampah dan limbah, tapi berpikir dengan berlandaskan hati nurani untuk berbuat sesuatu for the earth. Seseorang yang ketika dibayangkan mampu membuat saya tersenyum bangga pernah dibimbing olehnya. Dosen favorit saya, Agus Hadiyarto’.

2 komentar:

Hera Wahyuni mengatakan...

bagus banget ka, esainya :)
bagaimana belajarnya ka bisa buat esai sebagus itu ?

artist-Engineer mengatakan...

thx u...ini esai tekim yg ga menang loh...~sebagus apa yg menang hayooo.... hahahah...